STUDI KASUS AVOIDANT PERSONALITY DISORDER (AVPD)
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teknik
Konseling dan Psikoterapi
Oleh:
Nama :
Riko Septyan Nor Saputra
NIM :
1511413127
JURUSAN
PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
_____________________________________________________
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL..................................................................................................... i
DAFTAR
ISI................................................................................................................. ii
BAB
BAB
1.
LATAR BELAKANG PROSEDUR PEMILIHAN KASUS................................. 1
1.1
Latar Belakang Masalah.................................................................................... 1
1.2
Tujuan
Umum Studi Kasus Mahasiswa...........................................................
4
1.3
Tujuan
Khusus Studi Kasus Mahasiswa........................................................... 4
BAB
2.
LANDASAN TEORI .............................................................................................. 5
2.1
Pengertian Avoidant Personality Disorder (AvPD)............................................. 5
2.2
Kriteria Avoidant Personality Disorder (AvPD) ................................................. 7
2.3
Gejala Avoidant Personality Disorder (AvPD) ................................................... 7
2.4
Faktor Penyebab Avoidant Personality Disorder (AvPD).................................... 8
2.5
Perspektif Psikososial Mengenai Avoidant Personality Disorder (AvPD) .......... 9
2.5.1 Perspektif
belajar......................................................................................... 9
2.5.2 Psikodinamik............................................................................................. 10
2.5.3 Behavioral................................................................................................. 10
2.5.4 Kognitif..................................................................................................... 11
2.5.5 Humanistik................................................................................................ 12
2.5.6 Interpersonal.............................................................................................. 12
BAB
3.
IDENTIFIKASI KASUS....................................................................................... 14
3.1 Identitas Klien.................................................................................................. 14
3.2 Identitas orang tua............................................................................................ 14
3.3 Identifikasi Masalah.......................................................................................... 15
3.4 Jenis dan Nama Kasus...................................................................................... 15
BAB
4.
DATA KASUS....................................................................................................... 16
4.1 Data Non Test................................................................................................... 16
4.2 Data Test Psikologis.......................................................................................... 18
BAB
5.
ANALISIS DAN DIAGNOSIS............................................................................. 21
5.1 Analisis.............................................................................................................. 21
5.2 Diagnosis........................................................................................................... 21
5.3
Dinamika Psikologis.......................................................................................... 23
BAB
6.
PROGNOSIS.......................................................................................................... 24
BAB
7.
TREATMENT......................................................................................................... 26
7.1 Proses Konseling............................................................................................... 26
7.2 Rencana Treatment........................................................................................... 27
7.3
Evaluasi Treatment............................................................................................ 29
BAB
8.KESIMPULAN,
PENDAPAT, DAN SARAN...................................................... 31
8.1 Kesimpulan....................................................................................................... 31
8.2 Pendapat........................................................................................................... 31
8.3
Saran-saran........................................................................................................ 32
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................. 34
BAB
1
LATAR
BELAKANG PROSEDUR PEMILIHAN KASUS
1.1 Latar Belakang
Gangguan
kepribadian (personality disorder) meliputi sebuah pola maladaptif dari
pengalaman batin dan perilaku yang bertahan lama, kembali kemasa remaja dan
masa dewasa yang termanifestasi sedikitnya dua area berikut ini (1) kognisi,
(2) pengaruh, (3) fungsi interpersonal, dan (4) pengendalian impuls. Pola yang
menetap seperti ini nyata di dalam berbagai macam orang dan situasi sosial yang
menyebabkan kesulitan dan kerusakan. Gangguan kepribadian menunjukkan berbagai
macam dan pola perilaku yang kompleks.
Ekspresi
setiap gangguan psikologis memiliki sedikit perbedaan, masalah yang dialami
oleh penderita gangguan kepribadian terjadi setiap hari pada saat melakukan
interaksi dengan orang lain. Masalah mereka meliputi ketergantungan yang
berlebihan, ketakutan yang berlebihan akan keintiman, rasa khawatir yang
berlebihan, perilaku yang meledak-ledak, atau amarah yang tidak terkontrol.
Individu-idividu tersebut biasanya tidak bahagia dan tidak dapat menyesuaikan
diri. Mereka akan terperangkat dalam sebuah lingkaran setan yang akan
mengganggu akan gaya pribadi, mereka menjauhkan diri dari orang lain yang
semakin menambah masalah mereka dalam menjalin relasi. Karena gangguan
kepribadian meliputi seluruh struktur kehidupan individu, biasanya para klinisi
menganggap gangguan tersebut sebagai gangguan psikologis yang paling menantang
untuk ditangani.
Dalam
melakukan evaluasi apakah seseorang mengalami gangguan kepribadian, seorang
klinisi menganggap hal tersebut sebagai dampak sejarah hidup seseorang. Apakah
masalah tersebut sudah lama dan menyatu dalam kehidupan seseorang? atau apakah
ada hubungan dengan suatu peristiwa atau hubungan dengan orang lain? Jika
masalah tersebut sepertinya sudah sangat internalisasi dan berjalan lama, dapat
dilihat dari perasaan dan tindakan, kemungkinan orang ini mengalami gangguan
kepribadian.
Misalnya
ada seorang wanita muda yang begitu khawatir apakah ia akan diterima rekan
sekerjanya atau tidak, dia takut jika mereka mengkritik pekerjaannya ketika ia
meninggalkan kantor. Anggap saja peristiwa tersebut sudah terjadi dalam satu
waktu, ia tidak akan diangap mengalami gangguan kepribadian. Lain halnya bila
wanita trsebut sudah terlalu sering atau selalu memikirkan perkataan orang lain
tentang dirinya, mengejeknya, menyakitinya, atau menghalangi kesuksesannya, hal
ini dapat dianggap sebagai sebuah indikasi pola kaku dan penyesuaian diri yang
salah dari suatu gangguan kepribadian.
Ada
beberapa karakter dalam mendiagnosis gangguan kepribadian, yaitu (1) melihat
pola menetap dalam pengalaman batin individu dan perilaku yang berbeda dalam
mempersepsikan diri, mempersepsikan orang lain, mempersepsikan peristiwa,
jarak, intensitas, kecocokan ekspresi emosional, berfungsi secara
interpersonal, kontrol impuls, (2) polanya kaku dan mencakup keseluruhan
situasi personal serta sosial, (3) pola ini menyebabkan distres dan impairment,
(4) polanya tidak stabil dan bertahan lama dengan onset yang dapat ditelusuri
pada masa remaja atau saat memasuki masa dewasa awal.
Pada
sebagian besar orang merasa malu pada suatu keadaan tertentu, misalnya dalam
situasi yang tidak mereka kenal ketika mengenal orang lain. Mereka mungkin khawatir
akan melakukan kesalahan di depan umum dan terlihat bodoh, tetapi jika
seseorang selalu merasa terintimidasi oleh situasi sosial, merasa takut dengan
orang lain dalam bentuk apapun, dan terganggu oleh kemungkinan dipermalukan di
depan umum kemungkinan orang tersebut mengalami gangguan kepribadian menghindar
(Avoidant Personality Disorder).
Orang
dengan gangguan kepribadian menghindar hampir selalu menjauh dari hubungan
sosial, khususnya menghindari setiap situasi yang terdapat potensi adanya
ejekan atau luka personal, dan mereka menghindari kegiatan yang bukan merupakan
bagian dari kebiasaan mereka sehari-hari. Terkadang mereka membayangkan bencana
yang besar sebagai hasil dari kegiatan baru dan menggunkan hal tersebut sebagai
alasan untuk menghindari situasi-situasi baru yang membuat mereka dapat menjadi
bahan tontonan orang lain. Merasa yakin bahwa secara sosial mereka berada
dibawah orang lain, mereka menjadi sangat sensitif terhadap penolakan dan
ejekan, serta menganggap komentar sekecil apapun sebagaai suatu kritik.
Sebagai
hasil dari suatu keinginan mereka untuk menghindari penolakan dari orang lain,
mereka cenderung menyendiri. Pilihan pekerjaan mereka mencerminkan keinginan
untuk menjauh dari orang lain, mereka menghindari pekerjaan yang mengharuskan
mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika mereka dapat diyakinkan bahwa
mereka akan diterima tanpa syarat apapun, maka mererka akan dapat memasuki
suatu hubungan yang intim dan akrab. Meskipun demikian, mereka akan tetap
menjaga jarak dalam hubungan mereka, berjaga-jaga atas kritikan yang mungkin
muncul, kemungkinan dipermalukan atau bahkan ditolak.
Gangguan
tersebut memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan gangguan kepribadian
skizoid. Dalam kedua gangguan tersebut, individu cenderung menghindari hubungan
intim. Bagaimanapun, orang dengan gangguan menghindar sebenarnya mengharapkan
kedekatan dan merasakan sesuatu luka emosional atau ketidakmampuan mereka untuk
menjalin hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang gangguan skizoid
lebih memilih untuk sendiri dan tidak merasa tertekan karena mereka tidak dapat
terlibat dengan orang lain.
Pada kesempatan ini, penulis sedang
melakukan studi kasus pada salah satu mahasiswi Psikologi Unnes semester 4
dengan mengangkat masalah gangguan kepribadian Avoidant Personality Disorder. Pada kasus ini, klien memenuhi
beberapa ciri-ciri Avoidant Personality
Disorder berdasarkan DSM-IV yaitu menghindari kegiatan kerja yang
melibatkan kontak antarpribadi yang signifikan, keengganan untuk terlibat
dengan orang-orang tertentu kecuali menjadi suka, pengendalian dalam hubungan
intim karena takut menjadi malu atau diejek, dihambat dalam situasi
antarpribadi yang baru karena perasaan tidak mampu, melihat diri secara sosial
tidak layak atau lebih rendah daripada orang lain diri, keengganan yang
berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat dalam kegiatan baru karena
takut malu. Dalam studi kasus ini, penulis mencoba untuk mengungkap dan
menyelidiki penyebab dari gangguan kepribadian yang dialami klien mulai dari perkembangan
klien semenjak lahir sampai sekarang. Setelah mengetahui latar belakang masalah
atau riwayat perkembangan hidup klien yang ada hubungannya dengan gangguan
kepribadian Avoidant Personality Disorder,
maka penulis mencoba memberikan penanganan yang tepat kepada klien supaya
klien bisa mengubah kepribadiannya menjadi lebih baik.
1.2 Tujuan Umum
Tujuan umum dari studi kasus ini bagi penulis
adalah:
1.
Penulis
diharapkan mampu untuk menerapkan ilmu-ilmu dan pengetahuan konseling dan
terapi psikologi secara praktis, terintegrasi dan komprehensif.
2.
Penulis bisa
mendiagnosa dan mencari solusi dari masalah pada klien, sehingga ditemukan
pemecahan masalah untuk memperkaya pengalaman.
3.
Penulis lebih terlatih
dan berkompeten dalam menangani permasalahan psikologis pada individu yang
membutuhkan pertolongan.
1.3 Tujuan Khusus
Tujuan khusus
dalam studi kasus ini bagi klien adalah:
1.
Membantu dan
menyadarkan klien untuk memahami bahwa hal yang telah dilakukannya itu kurang
baik dan merugikan dirinya sendiri.
2.
Membantu mengarahkan
dan menemukan jati diri klien ke arah yang ideal dan lebih baik
3.
Mengganti pola
perilaku gangguan kepribadian pada klien
4.
Memberikan solusi
dan tindakan yang lebih tepat supaya gangguan yang diderita klien tidak
berlangsung dalam kurun waktu yang lama.
BAB
2
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Avoidant Personality Disorder (AvPD)
Individu
dengan gangguan kepribadian menghindar (avoidant) menunjukkan hambatan sosial
yang ekstrim dan introversi, yang mengarah pada pola hubungan sosial yang
terbatas seumur hidup dan keengganan untuk masuk ke dalam interaksi sosial.
Karena mereka juga hipersensitivitas dan mereka takut terhadap kritik dan
penolakan. Mereka tidak mencari orang lain, namun mereka menginginkan kasih
sayang dan sering merasa kesepian dan juga merasa bosan. Tidak seperti
kepribadian skizoid, orang dengan gangguan kepribadian avoidant tidak menikmati
kesendirian mereka, ketidakmampuan mereka untuk berhubungan nyaman kepada orang
lain menyebabkan kecemasan yang akut, disertai dengan perasaan rendah diri dan
kesadaran diri yang berlebihan. Merasa tidak layak serta sosial yang buruk
adalah dua hal yang paling lazim dan meneetap pada penderita gangguan
kepribadian menghindar (avoidant).
Selain itu, penelitian baru-baru ini mendokumentasikan bahwa individu dengan
gangguan ini juga menunjukkan sikap takut-takut yang lebih umum dan menghindari
banyak situasi dan emosi (termasuk emosi positif).
Individu
dengan gangguan kepribadian menghindar beranggapan bahwa berinteraksi dengan
orang lain tidak perlu atau tidak begitu penting, dan tidak menarik sama sekali
bagi mereka. Penghindaran tersebut dapat disebabkan individu menghindari atau
takut rasa akan diejek, menjadi bahan tertawaan, memalukan, ditolak atau
disukai oleh orang lain. Kebanyakan individu dengan gangguan kepribadian merasa
hidup sendiri atau dikucilkan dalam lingkungannya.
Bagi
individu dengan gangguan kepribadian menghindar, bersahabat bukanlah hal yang
penting baginya, ia tidak akan bersusah payah menjalin persahabatan dengan
orang lain atau kelompok seandainya ia tidak diterima. Bila ia berada atau
bersama orang lain, individu AvPD takut melakukan kesalahan dalam pembicaraan
atau takut tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang lain.
Individu
dengan gangguan kepribadian menghindar mempunyai karakteristik perhatian
berlebihan pada penampilan perilaku, malu berhubungan dengan orang lain,
kesulitan dalam mengekspresikan perasaan-perasaannya dan adanya perasaan
kesepian (keterasingan). Individu dengan gangguan AvPD tidak merasakan ada
gangguan dalam dirinya, hal inilah yang menyulitkan gangguan ini untuk
disembuhkan, individu tersebut sering menyebutkan dirinya “malu” setiap kali
berhadapan dengan orang lain. Bentuk-bentuk penghindarannya seperti
mengasingkan dirinya, mudah tersinggung dan menjauhkan dirinya dari orang lain.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
penolakan atau penghinaan dirinya.
Beberapa
gejala perilaku gangguan kepribadian menghindar kadang membingungkan dengan
gejala yang ada pada sosial phobia (SAD, Social
Anxiety Disorder) dimana keduanya menghindari kontak sosial. Hal yang
membedakan adalah AvPD lebih cenderung pada karakter “pemalu”, sementara pada
individu dengan gangguan sosial phobia sulit untuk berbicara dengan orang lain
atau ditempat umum. Perbedaan lainnya individu AvPD tidak pernah takut pada
situasi-situasi sosial yang akan dihadapinya.
Berbeda
halnya dengan individu pemalu, penderita gangguan kepribadian menghindar
melakukan sesuatu agar dirinya tidak menonjol dimuka umum, misalnya saja ia
akan memilih tempat duduk dibelakang dimana ia tidak akan menjadi pusat
perhatian orang, individu ini melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk “membaca situasi”
agar ia dapat merasa nyaman dan aman dari pandangan atau perhatian orang lain.
2.2 Kriteria Avoidant
Personality Disorder
(AvPD)
Menurut DSM – IV
– TR, sebuah pola meresap inhibisi sosial,
perasaan tidak mampu, dan hipersensitivitas terhadap kritik negatif, seperti
ditunjukkan sekurang-kurangnya empat dari berikut:
a. Menghindari
kegiatan kerja yang melibatkan kontak antarpribadi yang signifikan.
b. Keengganan
untuk terlibat dengan orang-orang tertentu kecuali menjadi suka.
c. Pengendalian
dalam hubungan intim karena takut menjadi malu atau diejek.
d. Keasyikan
dengan menjadi pengkritik atau ditolak.
e. Dihambat
dalam situasi antarpribadi yang baru karena perasaan tidak mampu.
f. Melihat
diri secara sosial tidak layak atau lebih rendah daripada orang lain diri.
g. Keengganan
yang berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat dalam kegiatan baru karena
takut malu.
2.3 Gejala Avoidant Personality Disorder (AvPD)
Gangguan
kepribadian AvPD memiliki beberapa gejala yang serupa dengan sosial phobia,
agoraphobia dan kepribadian pemalu. Adanya kemiripan diskripsi inilah
barangkali International Statistical
Classification of Diseases and Related
Health Problems (ICD) tidak mencantumkan jenis gangguan ini dalam taksologi
gangguan kepribadian. Gejala dari gangguan kepribadian menghindar ini adalah
a.
Sensitif terhadap kritikan dan penolakan
b.
Mengisolasi dirinya sendiri
c.
Malu berlebihan ketika menjalin hubungan dengan orang
lain
d.
Menghindari hubungan dengan orang lain
e.
Minder
f.
Rendah Self
esteem
g.
Tidak percaya pada orang lain
h.
Menjaga jarak hubungan emosional dengan orang lain,
tidak ingin akrab.
i.
Waspada berlebihan
j.
Bermasalah dalam dunia kerja
k.
Merasa dirinya sendirian
l.
Perasaan inferioritas
m.
Suka menyalahkan dirinya sendiri
n. Mempunyai
fantasi tinggi
2.4. Faktor
Penyebab Avoidant
Personality Disorder
(AvPD)
Faktor
penyebab langsung munculnya gangguan ini tidak diketahui secara pasti, namun
diperkirakan penolakan secara langsung oleh orangtua pada masa kanak-kanak
merupakan salah faktor. Penolakan tersebut membuat anak berhati-hati, selalu
menjaga dirinya tidak melakukan kesalahan di depan orang lain mulai berkembang
hingga terbentuknya penyimpangan perilaku sampai memasuki fase dewasa.
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa kepribadian avoidant mungkin memiliki asal-usul/bawaan pada bayi yaitu
"terhambat" temperamen dan rasa malu yang menghambat dalam situasi
baru dan ambigu. Selain itu, sekarang ada bukti bahwa rasa takut negatif
dievaluasi adalah yang menonjol dalam gangguan kepribadian avoidant. Ketertutupan
dan neurotisisme keduanya tinggi. Secara genetik dan biologis ini menghambat
temperamen yang mengarah ke gangguan kepribadian avoidant pada beberapa anak
yang mengalami emosional pelecehan, penolakan, atau penghinaan dari orang tua
yang tidak terutama kasih. Pelecehan dan penolakan akan sangat mungkin
menyebabkan cemas dan takut pada pola dalam temperamental menghambat anak.
Orang dengan gangguan kepribadian
avoidant begitu takut pada penolakan dan kritik. Mereka umumnya tidak mau untuk
memasuki hubungan tanpa jaminan penerimaan. Akibatnya, mereka mungkin memiliki
hubungan dengan keluarga mereka saja. Mereka juga cenderung menghindari
kelompok pekerjaan atau kegiatan rekreasi karena takut ditolak. Mereka lebih
suka makan siang sendirian di meja mereka. Mereka menghindari piknik perusahaan
dan pihak lain, kecuali mereka yakin diterima. Gangguan kepribadian avoidant,
tampaknya sama-sama sering terjadi pada pria dan wanita. Orang dengan
kepribadian avoidant sering menjaga untuk diri mereka sendiri karena takut
ditolak. Diyakini mempengaruhi antara 0,5% dan 1,0% dari populasi umum.
Tidak seperti orang-orang dengan skizofrenia, gangguan kepribadian avoidant memiliki minat, dan perasaan kehangatan terhadap orang lain. Namun, takut ditolak sehingga mencegah mereka dari berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu kasih sayang dan penerimaan.
Tidak seperti orang-orang dengan skizofrenia, gangguan kepribadian avoidant memiliki minat, dan perasaan kehangatan terhadap orang lain. Namun, takut ditolak sehingga mencegah mereka dari berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu kasih sayang dan penerimaan.
Dalam situasi sosial, mereka
cenderung untuk memeluk dinding dan menghindari berbicara dengan orang lain.
Mereka takut masyarakat membuatnya malu, pikiran bahwa orang lain mungkin
melihatnya menangis, atau bertindak gugup. Mereka cenderung menempel pada
rutinitas mereka dan membesar-besarkan risiko atau usaha dalam mencoba hal-hal
baru. Mereka mungkin menolak untuk menghadiri pesta yang merupakan jam
perjalanan dengan dalih perjalanan pulang terlambat akan terlalu berat.
Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan
dengan gangguan kepribadian dependen dan borderline.
2.5. Perspektif Psikososial Mengenai Avoidant Personality Disorder (AvPD)
2.5.1 Perspektif
belajar
Teori belajar cenderung lebih fokus pada perilaku dari pada gagasan tentang
ciri kepribadian. Demikian pula, mereka berpikir lebih dalam hal perilaku
maladaptif daripada gangguan "kepribadian." Ciri-ciri kepribadian
yang berteori untuk mengarahkan perilaku-perilaku yang konsisten untuk
memberikan dalam beragam situasi. Banyak kritikus (misalnya, Mischel, 1979),
berpendapat perilaku yang sebenarnya tidak konsisten di seluruh situasi seperti
teori sifat. Perilaku mungkin lebih bergantung pada tuntutan situasional dari
bergantung pada sifat. Sebagai contoh, kita dapat menggambarkan seseorang
sebagai pemalas dan tidak termotivasi. Tapi apakah orang ini selalu malas dan
tidak termotivasi? Bukankah ada beberapa situasi di mana orang tersebut mungkin
energik dan ambisius? Apa perbedaan dalam situasi dapat menjelaskan perbedaan
dalam perilaku? Teori belajar umumnya tertarik dalam mendefinisikan belajar dan
keadaan yang menimbulkan perilaku maladaptif sebagai penguatan mereka. Teori
belajar menekankan bahwa banyak pengalaman penting masa kecil terjadi yang
berkontribusi terhadap pembangunan kebiasaan maladaptif yang berhubungan dengan
orang lain, yang merupakan gangguan kepribadian.
2.5.2 Psikodinamik
Mereka memiliki perasaan rendah diri (inferiority complex), tidak percaya
diri, takut untuk berbicara di depan publik atau meminta sesuatu dari orang
lain. Mereka seringkali mensalah artikan komentar dari orang lain sebagai
menghina atau mempermalukan dirinya. Oleh karena itu, individu dengan gangguan
kepribadian menghindar biasanya tidak memiliki teman dekat. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sifat yang dominan pada individu ini adalah malu-malu.
Prevalensi gangguan kepribadian menghindar adalah 1-10 % dari populasi pada
umumnya.gangguan kepribadian ini dapat dikatakan sebagai gangguan yang umumnya
dimiliki oleh individu. Bayi-bayi yang diklasifikasikan sebagai memiliki
tempramen yang pemalu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki
gangguan ini daripada bayi-bayi yang aktif bergerak (berdasarkan
activity-approach scales).
2.5.3 Behavioral
Teori kognitif sosial Albert Bandura (1973, 1986)
telah mempelajari peran belajar observasional di perilaku agresif, yang
merupakan salah satu komponen umum perilaku antisosial. Dia dan rekan-rekannya
(misalnya, Bandura, Ross, & Ross, 1963) telah menunjukkan bahwa anak-anak
memperoleh keterampilan, termasuk keterampilan agresif, dengan mengamati
perilaku orang lain. Eksposur terhadap agresi mungkin datang dari menonton
program televisi kekerasan atau orang tua yang bertindak kekerasan kemudian
anak mengamati terhadap satu sama lain. Bandura tidak percaya anak-anak dan
orang dewasa menampilkan perilaku agresif dalam cara mekanis.
Mereka mudah sekali keliru dalam mengartikan komentar orang lain, seringkali komentar dari orang lain dianggap sebagai suatu penghinaan atau ejekan. Pada umumnya sifat dari orang dengan gangguan kepribadian menghindar adalah seorang yang pemalu. Menurut teori kognitif-behavioral, pasien sangat sensitif terhadap penolakan karena adanya pengalaman masa kanak-kanak, misalnya : karena mendapat kritik yang pedas dari orang tua, yang membuat mereka mencap diri mereka tidak mampu (inadequate).
Mereka mudah sekali keliru dalam mengartikan komentar orang lain, seringkali komentar dari orang lain dianggap sebagai suatu penghinaan atau ejekan. Pada umumnya sifat dari orang dengan gangguan kepribadian menghindar adalah seorang yang pemalu. Menurut teori kognitif-behavioral, pasien sangat sensitif terhadap penolakan karena adanya pengalaman masa kanak-kanak, misalnya : karena mendapat kritik yang pedas dari orang tua, yang membuat mereka mencap diri mereka tidak mampu (inadequate).
2.5.4 Kognitif
Psikolog kognitif telah menunjukkan bahwa cara-cara di
mana orang dengan gangguan kepribadian menafsirkan pengalaman sosial
mempengaruhi perilaku mereka. Antisosial remaja, misalnya, cenderung keliru
menafsirkan perilaku orang lain sebagai ancaman (KA Dodge, 1985). Mungkin
karena pengalaman keluarga dan masyarakat, mereka cenderung menganggap bahwa
orang lain ingin mereka sakit ketika mereka tidak. Pada kepribadian avoidant,
kandungan kognisi menjalin hubungan timbal balik patologis dengan struktur
kognisi (misalnya perangkat penyusunan informasi), dimana hubungan ini yang
bertanggungjawab atas terjadinya gangguan. Sifat terlalu curiga adalah pusat
dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan memeriksa lingkungan mencari
potensi ancaman. Mereka sensitif terhadap segala perasaan dan niatan orang lain
terhadap mereka. Yang dihasilkan adalah sistem pemrosesan informasi yang
dikuasai oleh terlalu banyak stimulus yang menghambat mereka memahami sesuatu
yang biasa atau keadaan sekitar. Akibatnya, penilaian terhadap potensi bahaya
menjadi sangat tinggi, bahkan kejadian yang sebenarnya tidak mengandung
bahaya-pun ditandai sebagai ancaman. Karena terlalu banyak potensi ancaman yang
masuk maka tidak ada satu informasi-pun yang diolah secara mendalam.
Hipotesis yang menyatakan bahwa setiap sumber stimulasi itu berbahaya berlanjut sebagai akibat dari ketidakpastian, membiarkan sebuah ancaman tanpa diperiksa akan sangat berisiko. Hasilnya, kecemasan meningkat, kepekaan terhadap tanda-tanda bahaya juga meningkat dan kedalaman pemrosesan informasi makin menderita. Akibatnya, seluruh proses kognitif menjadi sangat terbebani karena menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Oleh sebab itu seorang avoidant harus menarik diri demi mendapatkan rasa aman.
Hipotesis yang menyatakan bahwa setiap sumber stimulasi itu berbahaya berlanjut sebagai akibat dari ketidakpastian, membiarkan sebuah ancaman tanpa diperiksa akan sangat berisiko. Hasilnya, kecemasan meningkat, kepekaan terhadap tanda-tanda bahaya juga meningkat dan kedalaman pemrosesan informasi makin menderita. Akibatnya, seluruh proses kognitif menjadi sangat terbebani karena menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Oleh sebab itu seorang avoidant harus menarik diri demi mendapatkan rasa aman.
2.5.5 Humanistik
Pandangan diri: melihat diri sebagai individu yang
tidak mampu dan tidak kompeten dalam bidang akademis dan situasi bekerja.
Pandangan tentang orang lain: melihat orang lain yang mengkritik, tidak
tertarik, dan penuntut. Kepercayaan: intinya adalah “saya tidak baik...tidak
berharga...tidak dicintai. Saya tidak bisa menerima perasaan yang tidak
menyenangkan.” Tingkatan kepercayaan yang lebih tinggi adalah “jika orang
mendekati saya, mereka akan menemukan “keaslian diri saya” dan akan menolak
saya-hal ini tidak bisa diterima.” Tingkat selanjutnya, adalah kepercayaan
mengenai instruksi diri (self-instructional) seperti: “lebih baik tidak
mengambil resiko,” “sebaiknya saya menghindari situasi yang tidak
menyenangkan”, “jika saya merasa atau berpikir sesuatu yang tidak menyenangkan,
saya seharusnya mencoba keluar dengan mengacaukan diri.”
2.5.6 Interpersonal
Perasaan utamanya adalah kombinasi kecemasan dengan
sedih, dihubungkan dengan kurangnya perolehan kesenangan yang relasi terdekat
dan keyakinan diri dalam penyelesaian tugas. Penerimaan yang rendah terhadap
disphoria menghambat mereka dalam mengatasi perasaan malu dan membantu mereka
untuk lebih efektif. Karena mereka menghayati dan mengawasi perasaan terus
menerus, mereka sensitif untuk perasaan sedih dan cemas. Ironisnya, disamping
kewaspadaan yang sangat terhadap perasaan tidak nyaman, mereka malu untuk
mengidentifikasi pikiran yang tidak menyenangkan itu-kecenderungan yang sesuatu
dengan strategi utama yang disebut “cognitive avoidance”. Walaupun mendapatkan
masalah, mereka tetap tidak mau terlibat hubungan dengan resiko kegagalan atau
penolakan.
BAB 3
IDENTIFIKASI KASUS
3.1
Identitas Klien
Nama :
X (dirahasiakan)
Umur :
20 tahun
Alamat :
Pati
Jenis
Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : kuliah S-1
Anak : 3 dari 3 bersaudara
3.2
Identitas Orang tua
Identitas Ayah
Nama : Y (dirahasiakan)
Umur : 57 tahun
Alamat : Pati
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiun
Identitas Ibu
Nama : Z (dirahasiakan)
Umur : 47 tahun
Alamat : Pati
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
3.3
Identifikasi Masalah
Masalah pribadi yang sedang
dihadapi klien adalah perasaan inferior yang mengganggu kepercayaan dirinya, sehingga
klien tidak nyaman atau terkendala dalam berinteraksi dengan orang lain karena
sifat kepribadiannya yang tertutup (Introvert)
dan mudah tersinggung (sensitif). Sejak
kecil klien dibesarkan dengan keluarga yang broken
home, lalu dari masalah keluarganya tersebut klien merasa tertekan dan
menarik dirinya dari lingkungannya. Klien tidak memiliki banyak teman dan
jarang bergaul dengan teman sebayanya. Klien merasa dirinya tidak mampu dan
tidak lebih baik dari pada orang lain. Klien enggan terlibat dengan orang lain
secara mendalam. Klien mudah tersinggung terhadap kritik dan enggan terlibat
dengan banyak orang karena tidak percaya diri tentang dukungan dari orang lain
dan kemampuan dirinya sendiri.
3.4.
Jenis dan Nama Kasus
Jenis
kasus yang terjadi pada klien adalah masalah pada hal kepribadian dengan nama
kasus Avoidant Personality Disorder
(AvPD).
BAB IV
DATA KASUS
4.1
Data Non Test (Observasi dan Wawancara terhadap Klien)
Klien merupakan anak ketiga dari
tiga bersaudara, lahir di Pati 20 tahun yang lalu. Klien dibesarkan dalam kondisi ekonomi orang tua yang termasuk dalam
kategori pas-pasan atau sederhana. Sejak SD sampai klien kuliah sekarang, orang
tuanya tidak pernah rukun. Orang tuanya sering bertengkar bahkan di depan
anak-anaknya. Orang tuanya biasanya bertengkar untuk hal yang sepele. Ibu klien
merupakan sosok yang agresif, keras, sensitif, berani, dan galak. Ayah klien
merupakan sosok yang penyabar dalam menghadapi ibu klien, namun karena seringnya
bertengkar membuat ayahnya terbawa emosi untuk meladeni ibu klien.
Klien paling tidak suka kalau
melihat orang tuanya bertengkar, karena membuatnya badmood. Kalau orang tuanya bertengkar, klien langsung ngambek
walaupun tidak ada sangkut pautnya dengan klien. Klien ngambek dengan cara
tidak mau makan berhari-hari, namun tetap minum air putih. Selain itu, klien
juga mengurung diri di kamar dengan menangis tanpa diketahui orang tuanya yang
sedang bertengkar. Klien kadang melerai pertengkaran orang tuanya. Ketika orang
tuanya bertengkar, klien memiliki harapan untuk melupakan masalahnya, namun
selalu saja teringat dan langsung ngambek. Klien cukup tertekan dengan masalah
ini yang sudah dideritanya selama bertahun-tahun.
Gaya
interaksi antara ayah dan ibu subjek menggunakan nada yang tinggi, saling tidak
menghormati satu sama lain. Ibunya suka menjelek-jelekkan ayahnya kepada klien.
Ayahnya tidak mau curhat kepada klien tentang masalahnya itu karena tidak mau membuat
klien terbebani, sedangkan ibunya suka curhat tentang keburukan ayah klien
kepada klien. Ketika klien dicurhati ibunya, sikap subjek adalah tidak mau
mendengarkan. Menurut klien, ibunya suka mencari gara-gara dengan ayah klien,
sehingga klien tidak dekat dan tidak menyukai sosok ibunya. Klien lebih dekat
dan menyukai figur ayahnya.
Ibunya pernah cerita kepada klien
bahwa ibunya tidak menyukai ayah klien karena dulunya ayah klien kerja di
pelayaran dengan gaji besar, suka main perempuan, dan mabuk-mabukkan. Mendengar
cerita tersebut klien tidak percaya, karena klien yakin bahwa ayahnya baik.
Ketika ayah klien sudah berganti profesi dengan kerja di pengadilan, ibu klien
menuduh ayah klien telah selingkuh dengan teman kerjanya di kantor. Sampai
sekarang ayah klien yang sudah pensiun tetap saja bertengkar dengan ibu klien.
Ayah klien pernah meminta cerai, namun ibu klien tidak mau. Ayah dan ibunya
sudah pisah ranjang sejak subjek masih SD sampai sekarang.. Ibunya pernah
sampai buta dalam waktu yang singkat karena dipukul ayah klien.
Melihat masalah yang sudah
dideritanya selama 20 tahun, subjek sering berpikiran ingin bunuh diri karena
tertekan dengan ketidak harmonisan orang tuanya. Pikiran bunuh diri ini sudah
dipikirkannya sejak SD, namun klien tetap berusaha mengendalikan pikiran
negatifnya itu. Klien melampiaskan amarahnya dengan mengurung diri di kamar dan
menarik diri dari lingkungan. Klien merupakan orang yang introvert dan jarang
bergaul dengan teman sebayanya. Klien memiliki pandangan bahwa dirinya
merupakan sosok yang supel, lucu, baik, tidak sombong, pemalu, kadang-kadang
takut, kadang-kadang pendiam, sulit memaafkan orang lain, tertutup dengan orang
yang baru dikenalnya, dan kalau ngambek bisa berhari-hari lamanya.
Klien dibesarkan dari kecil dengan
pola didikan yang otoriter, yaitu sikap orang tua yang keras dan banyak
menuntut klien untuk bisa berprestasi di sekolah dengan baik. Sejak SD klien
merupakan murid yang tergolong pintar karena selalu ranking 1 di kelas mulai
kelas 1 sampai 3, namun prestasinya menurun sejak kelas 4 SD sampai sekarang.
Ketika klien semakin dewasa, orang tua klien menjadi lebih demokratis.
Walaupun
orang tua klien lebih demokratis, klien tetap memiliki kepribadian yang pemalu
dan kurang bisa membaur dengan lingkungan pergaulan. Klien memiliki keengganan untuk
berkomunikasi atau terlibat kepada orang lain yang belum dikenalnya. Klien
lebih membatasi hubungannya dalam bergaul karena malu dan perasaan inferiornya.
Di lingkungan Kampus, klien hanya memiliki sedikit teman dekat dan sedikit
dalam memiliki kenalan. Di Kampus, klien tidak popular sama sekali. Klien
merasa tidak memiliki kepercayaan diri untuk memulai pembicaraan dengan orang
lain, sehingga selalu orang lain yang harus memulai pembicaraan dengannya.
Klien juga menutup diri dan tidak dekat dengan satu pun penghuni kosnya. Ada
rasa minder karena inferior dari dalam dirinya dalam berinteraksi dengan orang
lain. Klien orang yang mudah tersinggung terhadap perkataan orang lain,
terutama kritikan.
Klien
merasa bahwa dirinya tidak mampu dari orang lain dan merasa lebih rendah dari
orang lain. Klien hidup menyendiri dan terlihat seperti dikucilkan oleh
lingkungan. Klien merupakan orang yang kurang ekspresif, sehingga sering sekali
memendam perasaannya. Klien menghindari lingkungannya dengan mengasingkan diri
dan mudah tersinggung untuk hal-hal yang sepele. Sifat sensitif klien ini
sebenarnya cukup mengganggunya, sehingga klien sulit memafkan kesalahan orang
lain. Klien merasa takut mengambil resiko dalam beraktivitas dalam kegiatan
yang baru karena perasaan takutnya.
4.2. Data Test
Psikologi
4.2.1 Tes DAP/DAM
Dari
tes DAP yang sudah dilakukan, klien diinterpretasikan sebagai berikut:
Ø Dikuasai
emosi, menekankan masa yang lalu
Ø Tendensi
impulsif, self oriented introvert
Ø Banyak
dikendalikan uncensciousnes
Ø Perasaan
tidak pasti, tertekan dalam berhubungan dengan lingkungan
Ø Regresi,
kurang semangat, inferior, kurang mampu
Ø Ada
hambatan dalam berhubungan dengan lingkungan
Ø Tendensi
schizoid
Ø Kurang
berani tampil
Ø Cemas,
insecure, ragu-ragu atau takut
Ø Kontrol
rigid (didasari tekanan dan kurang mampu)
Ø Ketakutan,
tidak aman, tidak pasti,
Ø Penekanan
pada fantasi
Ø Terlalu
membanggakan intelektual
Ø Ada
kemungkinan gangguan organis (sering sakit, kerusakan otak, kemunduran)
Ø Suka
menyerang
Ø Tidak
pasti
Ø Sopan
Ø Tidak
masak, egosentris, regresi
Ø Cenderung
feminim, oral erotis, dependensi
Ø Perasaan
inferior
Ø Mencoba
mencari kompensasi
Ø Menghindari
dorongan fisik
Ø Merasa
kurang sehat atau kurang kuat
Ø Kemauan
lemah
Ø Banyak
mengharap bantuan
Ø Merasa
kurang lincah atau kurang mampu
Ø Ada
masalah yang ditutupi atau dipendam
Ø Kurang
percaya diri
Ø Belum
tahu jati dirinya.
4.2.2 Tes Baum
Dari
tes Baum yang sudah dilakukan, klien diinterpretasikan sebagai berikut:
Ø Kecenderungan
impulsif yang berhubungan dengan kepuasan
Ø Cenderung
introvert atau orientasi pada diri
Ø Cenderung
berorientasi pada masa lampau
Ø Senang
menimbang dirinya, sukar dipengaruhi
Ø Memiliki
hasrat yang tinggi
Ø Energi
atau kemampuannya lemah, tetapi aspirasinya terlalu tinggi
Ø Fantasi
yang lebih besar atau image negatif
Ø Intelektual,
penuh dunia idea, Fleksibilitas
Ø Kurang
adanya dorongan untuk mencapai sesuatu
Ø Kemampuan
kurang, pengambilan keputusan tidak tegas
Ø Ragu-ragu,
labil, ada keinginan untuk mendominasi
Ø Ada
keinginan exhibitionisme
Ø Cenderung
menutup diri
Ø Memiliki
suasana hati yang hidup, menyenangkan, lemah
Ø Pendiam
tapi perasaannya dalam, cenderung menolak dunia luar
Ø Egosentris,
mudah tertekan atau depresif, kekanak-kanakan
Ø Ada
keinginan yang ingin dicapai, ada keinginan berprestasi dan kerja sebanyak
mungkin
Ø Kurang
dapat menentukan sikap, tidak ada kepastian dalam menghadapi lingkungan
Ø Hambatan
perasaan karena adanya traumatis pada masa lalu
Ø Kurang
percaya diri, cenderung regresi, adanya konflik
Ø Konkrit
menghadapi sesuatu, cenderung statis, gejala retardasi
Ø Kemungkinan
lambat belajar, motorik agak kasar, sukar belajar
Ø Lambat
tapi pasti, kemungkinan hambatan dalam perkembangan
Ø Banyak
dipengaruhi ketidaksadaran, terikat pada insting dan tradisi
4.2.3 Tes House Tree
Person (HTP)
Ø Cenderung
menutupi masalah yang berhubungan dengan keluarga
Ø Secara
psikologis juh dengan ibunya
Ø Memiliki
hubungan yang lebih baik kepada ayah daripada ibunya
Ø Ada
perasaan tidak aman
Ø Memiliki
hambatan dalam mengekspresikan perasaan
Ø Cenderung
menarik diri, namun punya keterbukaan psikologis
Ø Memiliki
usaha untuk perlindungan diri
Ø Memiliki
kesediaan berkomunikasi yang cukup baik
BAB 5
ANALISIS DAN
DIAGNOSIS
5.1 Analisis
Dari pemeriksaan data
secara psikologis terhadap diri klien, dalam hal ini penulis menggunakan tes
grafis menghasilkan analisis sebagai berikut:
Klien adalah seorang pribadi yang
introvert, cenderung tertutup, dan perasaan tidak pasti. Klien memiliki
perasaan inferior karena merasa tidak sebagus orang lain. Perasaan seperti ini
mempengaruhi dalam berinteraksi dan membangun relasi pergaulan dengan
lingkungannya. Hal tersebut membuat klien tertutup dan kurang dalam
berinteraksi dengan orang lain. Klien merasa tertekan dalam
berhubungan dengan lingkungannya. Klien cenderung lebih suka memendam
masalahnya daripada cerita kepada orang lain untuk menukan solusi yang tepat
untuk menyelesaikan permasalahannya.
Klien memiliki kemauan yang lebih untuk maju, namun kemampuannya kurang
mendukung. Klien sulit memaafkan orang lain karena cenderung
berorientasi pada masa lampau. Kemungkinan klien mengalami sikap inferior
karena terungkap di tes psikologis bahwa klien cenderung memiliki kemampuan
belajar yang terlambat dalam hal akademik maupun perkembangan psikologisnya.
Terungkap bahwa klien memiliki masalah keluarga dan cenderung ditutupinya. Klien
kurang ada motivasi atau dorongan untuk memiliki teman yang banyak. Dari
beberapa ciri-ciri yang ada, penulis menyimpulkan bahwa klien memiliki
mengalami Avoidant Personality Disorder
(AvPD).
5.2. Diagnosis
Melihat uraian kasus
diatas, dapat dikemukakan beberapa hal yang melatar belakangi klien yang
mengalami Avoidant
Personality Disorder (AvPD):
Dalam pandangan psikolog kognitif, telah menunjukkan
bahwa cara-cara di mana orang dengan gangguan kepribadian menafsirkan
pengalaman sosial mempengaruhi perilaku mereka. Antisosial remaja, misalnya,
cenderung keliru menafsirkan perilaku orang lain sebagai ancaman. Klien
terbukti keliru menafsirkan gaya pembicaran atau komunikasi temannya yang
sebenarnya adalah biasa saja namun ditafsirkan klien sebagai ancaman yang
membuat dirinya tersinggung. Mungkin karena pengalaman keluarga dan masyarakat,
klien cenderung menganggap bahwa orang lain ingin menyakitinya, padahal niat
orang lain tidak seperti itu. Hal ini mungkin karena terbawa oleh sikap ibu klien
dengan gaya berbicara yang cukup pedas, cerewet, dan tanpa sadar menyinggung perasaan
klien. Klien memiliki sikap yang tidak mudah mempercayai orang, sehingga sifat
terlalu curiga adalah pusat dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan
memeriksa lingkungan mencari potensi ancaman. Mereka sensitif terhadap segala
perasaan dan niatan orang lain terhadap mereka.
Klien juga memenuhi beberapa ciri-ciri Avoidant Personality Disorder menurut
DSM-IV, yaitu menghindari kegiatan kerja yang melibatkan kontak antarpribadi
yang signifikan, keengganan untuk terlibat dengan orang-orang tertentu kecuali
menjadi suka, pengendalian dalam hubungan intim karena takut menjadi malu atau
diejek, dihambat dalam situasi antarpribadi yang baru karena perasaan tidak
mampu, melihat diri secara sosial tidak layak atau lebih rendah daripada orang
lain diri, keengganan yang berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat
dalam kegiatan baru karena takut malu.
Dalam PPDGJ-III, klien memenuhi kategori
sebagai individu dengan gangguan kepribadian cemas (menghindar) dengan
ciri-ciri yang memenuhi yaitu merasa dirinya tak mampu, tidak menarik atau
lebih rendah dari orang lain; preokupasi yang berlebihan terhadap kritik dan
penolakan dalam situasi sosial; keengganan untuk terlibat dengan orang kecuali
merasa yakin akan disukai; dan menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang
banyak melibatkan kontak interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung
atau ditolak.
Gangguan AvPD yang dialami oleh klien
ini bisa jadi merupakan dampak dari kondisi broken
home yang dialami oleh orang tuanya. Kondisi orang tuanya yang sering
bertengkar sejak klien masih kecil sampai sekarang membuat klien memiliki
respon untuk mengurung diri di kamar sebagai bentuk protes kepada orang tuanya
yang sering bertengkar, sehingga pengulangan perilaku mengurung diri di kamar
selama berjam-jam membuat klien terbiasa untuk mengurung diri atau menarik diri
dari lingkungannya bahkan sampai usia klien yang sekarang ini sudah 20 tahun.
Pada dasarnya klien tidak suka ketika melihat orang tuanya bertengkar, sehingga
hal ini terbawa ketika klien tidak suka dengan sikap orang lain yang membuatnya
tersinggung, maka klien akan menghindar dengan menarik diri.
5.3. Dinamika Psikologis
Berdasarkan hasil
wawancara, oservasi, dan tes kepribadian, dalam kasus ini penulis menggunakan
tes grafis DAP, Baum, dan HTP, maka gambaran psikologis klien adalah sebagai
berikut:
Pola
asuh orang tua yang awalnya otoriter membuat klien tumbuh dalam pribadi yang
penuh tekanan, sehingga dari tekanan tersebut timbul penarikan diri yang juga
disebabkan karena orang tua klien yang broken
home sejak klien masih SD. Klien tumbuh sebagai pribadi yang lebih tertekan
dan membenci figur ibunya. Klien melampiaskan setiap amarahnya
dengan mengurung diri di kamar dan menarik diri dari lingkungan. Klien
merupakan orang yang introvert dan jarang bergaul dengan teman sebayanya.
Karena seringnya gambek ketika orang tuanya bertengkar, klien memiliki
kebiasaan murah tersinggung. Klien tumbuh sebagai remaja yang tidak percaya
diri dan tidak popular diantara teman sebayanya. Perasaan minder dan merasa
tidak mampu sering dialaminya. Klien enggan terlibat dengan orang lain jika
dirinya tidak disukai oleh orang tersebut. Klien menghindari kontak
interpersonal karena tidak mau tersakiti. Selama ini klien banyak merasa
tersakiti oleh ibunya, sehingga klien membenci figur ibunya yang keras dan
cerewet. Sampai kuliah sekarang, klien tidak memiliki banyak teman karena
sikapnya yang tertutup.
BAB 6
PROGNOSIS
Pada dasarnya manusia merupakan
makhluk yang dinamis, selalu berubah-ubah dalam perkembangan hidupnya.
Perubahan tersebut biasanya dipengaruhi oleh lingkungan individu. Seseorang
yang pendiam dan pemalu yang diletakkan dalam lingkungan yang mendukungnya
untuk menjadi pribadi yang aktif dan interaktif akan membuatnya berubah, karena
motivasi eksternal dari lingkungannya memberikan dorongan untuk berubah bahwa
diri seseorang tersebut harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Walaupun
kepribadian cenderung menetap, namun siapapun bisa mengubah kepribadiannya jika
ada niat tulus dalam diri sendiri, orang yang membantunya untuk berubah, serta
upaya serta daya juang untuk berubah walaupun banyak hambatan yang akan
terjadi.
Walaupun klien mengalami Avoidant
Personality Disorder (AvPD) pada masa remajanya, namun sebenarnya klien masih
bisa untuk mengubah masalahnya itu. Penulis memperhatikan bahwa klien merupakan
individu yang mau mendengarkan saran orang lain, terlebih lagi penulis memiliki
kedekatan yang baik terhadap klien sejak klien kuliah semester 1. Dari
pengalaman terdahulu, klien sudah
beberapa kali menceritakan masalahnya kepada penulis dengan bertemu secara
langsung dan penulis memberikan solusi serta kata-kata motivasi supaya klien
bisa mengatasi masalahnya. Terlihat bahwa klien selalu mau mendengarkan saran
penulis dengan fokus dan berusaha untuk mengikuti saran dari penulis. Hal ini
membuktikan bahwa klien sebenarnya memiliki kepercayaan yang besar terhadap apa
yang penulis katakan. Dari pengalaman ini terlihat bahwa klien berpotensi besar
bisa mengatasi masalah Avoidant
Personality Disorder (AvPD) yang dimilikinya.
Melihat kepercayaan klien pada
penulis serta adanya niat untuk berubah menjadi lebih baik dalam membentuk
kepribadiannya, maka penulis berkeyakinan bahwa klien akan mendapatkan
keberhasilan dalam memperbaiki pribadinya dengan fokus pada pengubahan pikiran
dan perilaku yang selama ini salah untuk dilakukan. Melihat keadaan klien yang
sebenarnya memiliki sikap yang hangat, ramah, dan menyenangkan, maka hal ini
akan membuat klien menjadi lebih baik dalam menjalin interaksi yang dengan
lingkungannya, sehingga masalah klien dalam mengalami AvPD diprediksi bisa
berkurang dan mengarah pada perubahan yang positif.
BAB 7
TREATMENT
Dalam
melaksanakan studi kasus ini, penulis melakukan proses konseling dan terapi
dengan klien dengan menggunakan pendekatan Cognitive
Behaviour Therapy (CBT). Cognitive
Behaviour Therapy (CBT) sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk
menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan
restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pendekatan ini
didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang
mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman
konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu
munculnya restrukturiasasi kognitif dan sistem kepercayaan untuk membawa
perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa proses
konseling yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
7.1 Proses Konseling
Dalam
proses konseling, penulis tidak mengalami kesulitan dalam menggali data dari
klien, karena klien sangat mengenal penulis sejak 3 tahun terakhir. Klien dan
penulis memiliki hubungan yang baik selama 3 tahun ini, sehingga klien mau
terbuka terhadap masalahnya. Selain itu, klien mau terbuka dengan masalahnya
karena penulis dan klien kuliah di jurusan dan universitas yang sama dan juga
berasal dari daerah yang hampir sama. Penulis berasal dari Kudus, sedangkan
klien berasal dari Pati. Secara geografis Kudus dan Pati merupakan kota yang
berdekatan alias bertetangga, sehingga penulis dan klien dalam melakukan
komunikasi tidak mengalami masalah.
Penulis
menerima keadaan klien sebagaimana adanya dengan sikap yang hangat dan
memberikan empati kepada klien. Hal yang sama dilakukan oleh klien kepada
penulis, yaitu klien menerima penulis dengan senang hati tanpa merasa diganggu
waktunya oleh penulis. Klien sangat kooperatif dan mau terbuka kepada penulis
mengenai masalahnya. Klien menjelaskan cukup detail tentang masalahnya ini,
tanpa ada yang ditutup-tutupi. Lingkungan kos klien sebagai tempat konseling
sangat tenang dan kondusif, karena penulis melakukan konseling pada malam hari
dengan janji pertemuan yang sudah diatur sebelumnya. Klien menyadari bahwa
masalah kepribadiannya ini harus diatasi, karena klien sebenarnya merasa kurang
nyaman dengan kepibadiannya ini dan membuatnya kurang berkembang.
7.2. Rencana Treatment
Untuk
rencana treatment yang diberikan penulis terhadap klien adalah melakukan
perubahan secara kognitif dan perilaku pada klien, karena konsep utama dari terapi kognitif-perilaku (CBT) adalah peleburan
antara pendekatan perilaku dan kognitif. Kognitif-perilaku merupakan
pencampuran dari strategi perilaku dan proses kognitif yang bertujuan untuk
mencapai perubahan kognisi dan perilaku manusia. Penulis akan melakukan
konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif
yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan diri klien, baik secara fisik
maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan
klien dibanding masa lalu.
Aspek kognitif dalam CBT yang akan penulis lakukan antara lain
mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi
klien untuk belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Pada
aspek behavioral dalam CBT, penulis melakukan pengubahan hubungan yang salah
antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh, sehingga klien merasa lebih
baik, serta berpikir lebih jelas. Tujuan yang akan dicapai dalam treatment ini
adalah adanya perubahan kognitif dan perilaku pada klien yang lebih baik dari
pada sebelumnya.
Penulis mengajak klien untuk menentang pikiran dan emosi yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan klien tentang
masalah yang dihadapi serta mencari keyakinan dalam diri konseli dan secara
kuat mencoba menguranginya. Penulis membantu klien untuk membentuk keyakinan
bahwa klien mampu untuk menyelesaikan masalahnya.
Klien diharapkan bisa mengubah caranya berpikirnya dan cara berperilakunya
untuk lebih bisa membaur dengan lingkungannya. Penulis juga meminta klien untuk
menuli buku diari mengenai apa saja yang dipikirkan dan dilakukannya disetiap
harinya. Hal ini penulis lakukan supaya klien dan penulis bisa melihat
perkembangan cara berpikir dan berperilaku serta untuk bahan evalusi dan
perbaikan.
Teknik yang penulis gunakan adalah cognitive restructuring. Teknik ini fokus pada peristiwa kognitif yang
dapat berupa apa yang konseli katakan tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka
miliki, apa yang mereka sadari dan rasakan. Proses kognitif berupa proses
pemrosesan informasi. Struktur kognitif berupa anggaran dan kepercayaan tentang
dirinya sendiri dan dunia yang berhubungan dengan dirinya. Dalam cognitive restructuring, penulis menggunakan jenis Ellis ‘s Rational-Emotive (Behavior) Therapy,
yaitu masalah emosi berasal dari pernyataan irrasional ketika menghadapi
kejadian yang tidak sesuai dengan harapannya; mengajarkan klien mengubah
pikiran irrasional menjadi pikiran rasional yang lebih positif dan realistis; menantang
pikiran irasional dengan memberikan interpretasi rasional terhadap kejadian
buruk yang menimpa klien; dan memberikan tugas rumah. Pemberian tugas rumah ini
adalah dengan menulis buku diari.
Beberapa contoh yang
penulis lakukan dalam mengubah kognitif klien adalah mengajak klien untuk
menentang pikirannya yang salah, yaitu permasalahan bahwa dirinya merupakan
pribadi yang inferior. Merasa inferior merupakan suatu kesalahan berpikir
karena membandingkan kekurangan dirinya dengan kelebihan orang lain. Penulis
meyakinkan bahwa klien merupakan orang yang memiliki kehebatan tersendiri
dibidangnya. Setiap orang sulit untuk hebat di semua bidang, sehingga pada
umumnya setiap orang hanya bisa 1 bidang. Salah satu kehebatan klien yang
terlihat nyata adalah dalam keberhasilannya diterima di Universitas Negeri.
Jika dibandingkan dengan penulis, klien jauh lebih hebat daripada penulis
karena klien hanya ikut proses seleksi penerimaan mahasiswa PTN (Perguruan
Tinggi Negeri) dalam satu kali langsung diterima, sedangkan penulis baru
berhasil di terima di PTN dalam proses seleksi yang ke empat. Jika
dipikir-pikir, saingan untuk memperebutkan posisi untuk menjadi mahasiswa PTN
sangat ketat sekali karena saingannya secara nasional. Ini membuktikan bahwa
klien memiliki suatu kehebatan yang seharusnya membuatnya percaya diri, bukan
perasaan inferior yang selama ini dipikirkannya.
Beberapa contoh yang penulis lakukan untuk mengubah perilaku klien
selain menulis buku diari adalah dengan menyuruh klien untuk lebih aktif dalam
mencoba berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Lalu klien juga harus belajar
untuk menambah wawasannya dan mengembangkan pengetahuannya dalam
memperbaiki kepribadiannya melalui media seperti seminar, menonton program
motivasi di televisi, buku, internet dan lain sebagainya. Ini untuk memotivasi
klien supaya perilakunya bisa berubah, karena untuk bisa berubah dibutuhkan
proses belajar. Semakin cerdas seorang individu karena banyaknya ilmu dan
pengetahuan yang didapatkannya melalui upayanya dalam belajar (berperilaku),
maka akan membuatnya memiliki struktur kognitif yang lebih positif dan proses
mental yang lebih kuat serta berkembang.
7.3. Rencana Treatment
Selanjutnya
Rencana
treatment selanjutnya adalah mengajak klien membuat kalkulasi terhadap
permasalahannya tersebut. Penulis akan mengevaluasi pikiran-pikiran apa saja
yang sudah diubah oleh klien serta perilaku apa saja yang sudah dilakukan
klien. Setiap perkembangan pikiran dan perilaku yang sudah dilakukan oleh klien
akan dicatat oleh penulis untuk bahan evaluasi dan membenahi hal yang kurang
untuk mencapai perubahan kepribadian yang lebih baik.
7.4. Evaluasi Treatment
Selama penulis melakukan rencana
treatment yang sudah disepakati oleh klien, maka klien mulai mengambil tindakan
yang tegas untuk berubah dengan mengikuti saran dari penulis yang berbasiskan
CBT. Klien menginginkan adanya suatu perubahan kepribadian karena tidak mau
terus-terusan mengalami Avoidant
Personality Disorder. Klien menyadari bahwa ternyata selama ini caranya
berpikir dan berperilaku kurang sesuai dan kurang tepat. Penulis hanya bisa
membantu klien untuk mengubah pikiran dan perilakunya. Semua keberhasilan
ditentukan sebagian besar oleh klien, karena klien tinggal melakukan arahan dan
saran dari penulis. Terlihat bahwa klien memiliki niat dan kesungguhan untuk
berubah menjadi lebih baik untuk mengubah kepribadiannya. Klien akan berupaya
untuk mengubah pikiran yang selama ini menghambatnya serta mengubah
perilakunya.
BAB 8
KESIMPULAN,
PENDAPAT, DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Dari
hasil analisa, diagnosa, dan treatment serta evaluasi treatment yang dilakukan,
maka dapat disimpulkan bahwa:
Klien yang mengalami gangguan kepribadian Avoidant Personality Disorder dilatar
belakangi oleh kebiasaannya dalam merespon kondisi orang tua yang mengalami
disharmonisasi keluarga, sehingga mempengaruhi kepribadian klien.
Dengan
melihat hasil evaluasi treatment terlihat bahwa klien memiliki niat dan
kesungguhan untuk berubah menjadi lebih baik untuk mengubah kepribadiannya.
Klien akan berupaya untuk mengubah pikiran yang selama ini menghambatnya serta
mengubah perilakunya.
Terlihat
bahwa klien selalu mau mendengarkan saran penulis dengan fokus dan berusaha
untuk mengikuti saran dari penulis. Hal ini membuktikan bahwa klien sebenarnya
memiliki kepercayaan yang besar terhadap apa yang penulis katakan. Dari
pengalaman ini terlihat bahwa klien berpotensi besar bisa mengatasi masalah Avoidant
Personality Disorder (AvPD) yang dimilikinya.
8.2. Pendapat
Pada dasarnya klien merupakan orang
yang menyenangkan, baik, ramah, hangat, sopan, dan polos. Klien sebenarnya
memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan kepribadiannya. Pada dasarnya
tidak ada orang yang sempurna, karena setiap orang memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Seharusnya klien memiliki kepribadian yang lebih
berkembang karena bidang ilmu kuliah yang dipelajarinya adalah tentang perilaku
manusia, sehingga ilmu yang didapatkannya di bangku kuliah seharusnya bisa
diterapkannya untuk memperbaiki gangguan kepribadiannya tersebut.
8.3. Saran-saran
Dari uraian yang telah dikemukakan
di atas, penulis memberikan beberapa saran kepada klien yaitu sebagai berikut:
a. Klien
harus belajar mengembangkan pengetahuannya dalam memperbaiki kepribadiannya
melalui media seperti seminar, program motivasi di televisi, buku, internet dan
lain sebagainya.
b. Klien
harus belajar ikhlas dalam memahami keragaman sifat manusia supaya kebiasaannya
yang mudah tersinggung bisa berkurang bahkan menghilang, karena pada dasarnya
tidak ada perkataan dan perbuatan yang sempurna sebagaimana diri klien yang
tidak terlepas dari membuat kesalahan kepada orang lain.
c. Klien
bisa menemukan bakatnya lalu mengembangkan, karena perasaan inferiornya yang
membatasi hubungannya dalam bergaul bisa berkurang saat dirinya mengasah bakat
yang merupakan kelebihannya.
d. Klien
harus berfokus kepada kelebihan dirinya untuk menghilangkan perasaan
inferiornya, karena pikiran yang salah akan mengakibatkan fokus yang salah.
e. Klien
tidak perlu membandingkan kelemahan dirinya dengan kelebihan orang lain, karena
itu merupakan cara berpikir yang salah. Justru pikiran ini yang menyebabkan
seseorang menjadi minder dan memiliki perasaan inferior.
f. Klien
harus berusaha meningkatkan kualitas dirinya sampai setara dengan orang yang
dianggapnya superior, sehingga klien akan memiliki pemikiran baru bahwa dirinya
bukanlah orang yang inferior lagi.
g. Klien
harus mencoba untuk lebih banyak melakukan interaksi sosial lebih sering dari
pada sebelumnya serta melibatkan dirinya dalam pergaulan yang positif.
Pergaulan ini bisa dipilih oleh klien berdasarkan orang yang disukainya, orang
yang satu hobi atau bakat, orang yang memiliki cita-cita yang sama, atau bisa
juga orang yang memiliki asal daerah yang sama.
h. Klien
harus lebih bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, supaya klien
mendewasa menjadi pribadi yang lebih bijak. Klien harus sadar bahwa dirinya
dianugreahi Tuhan otak yang luar biasa serta fisik yang sempurna, sehingga
klien memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pribadi yang berkembang
leih pesat dan unggul.
i. Klien
harus berani mengambil resiko yang ada tanpa harus memikirkan rasa malu atau
takut, karena perasaan negatif tersebut akan mengambat dirinya untuk bisa
berkembang. Klien harus menanamkan kepada dirinya bahwa resiko yang besar akan
menghasilkan kesuksesan yang besar, sehingga hal ini akan memotivasi klien
untuk bangkit dan selalu berupaya untuk mengubah pribadinya dengan keberanian
mengambil resiko besar untuk perubahan yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
Halgin, Richard P. dan Whitbourne, Susan
Kraus. 2011. Psikologi Abnormal:
Perspektif Klinis pada Ganguan Psikologis. Jakarta: Salemba Humanika
https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Avoidant+Personality+Disorder