Pages

Riko Septyan Nor Saputra. Powered by Blogger.

Sunday, November 13, 2016

Studi Kasus Avoidant Personality Disorder (AVPD)



STUDI KASUS AVOIDANT PERSONALITY DISORDER (AVPD)



Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teknik Konseling dan Psikoterapi


Oleh:
Nama      : Riko Septyan Nor Saputra
NIM       : 1511413127


JURUSAN PSIKOLOGI
                        FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
 _____________________________________________________

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB
BAB
1. LATAR BELAKANG PROSEDUR PEMILIHAN KASUS................................. 1
1.1     Latar Belakang Masalah.................................................................................... 1
1.2     Tujuan Umum Studi Kasus Mahasiswa........................................................... 4
1.3     Tujuan Khusus Studi Kasus Mahasiswa........................................................... 4
BAB
2. LANDASAN TEORI .............................................................................................. 5
2.1  Pengertian Avoidant Personality Disorder (AvPD)............................................. 5
2.2  Kriteria Avoidant Personality Disorder (AvPD) ................................................. 7
2.3  Gejala Avoidant Personality Disorder (AvPD) ................................................... 7
2.4  Faktor Penyebab Avoidant Personality Disorder (AvPD).................................... 8
2.5  Perspektif Psikososial Mengenai Avoidant Personality Disorder (AvPD) .......... 9
2.5.1 Perspektif belajar......................................................................................... 9
2.5.2 Psikodinamik............................................................................................. 10
2.5.3 Behavioral................................................................................................. 10
2.5.4 Kognitif..................................................................................................... 11
2.5.5 Humanistik................................................................................................ 12
2.5.6 Interpersonal.............................................................................................. 12
BAB
3. IDENTIFIKASI KASUS....................................................................................... 14
3.1 Identitas Klien.................................................................................................. 14
3.2 Identitas orang tua............................................................................................ 14
3.3 Identifikasi Masalah.......................................................................................... 15
3.4 Jenis dan Nama Kasus...................................................................................... 15

BAB
4. DATA KASUS....................................................................................................... 16
4.1 Data Non Test................................................................................................... 16
4.2 Data Test Psikologis.......................................................................................... 18
BAB
5. ANALISIS DAN DIAGNOSIS............................................................................. 21
5.1 Analisis.............................................................................................................. 21
5.2 Diagnosis........................................................................................................... 21
5.3 Dinamika Psikologis.......................................................................................... 23
BAB
6. PROGNOSIS.......................................................................................................... 24
BAB
7. TREATMENT......................................................................................................... 26
7.1 Proses Konseling............................................................................................... 26
7.2 Rencana Treatment........................................................................................... 27
7.3 Evaluasi Treatment............................................................................................ 29
BAB
8.KESIMPULAN, PENDAPAT, DAN SARAN...................................................... 31
8.1 Kesimpulan....................................................................................................... 31
8.2 Pendapat........................................................................................................... 31
8.3 Saran-saran........................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 34





BAB 1
LATAR BELAKANG PROSEDUR PEMILIHAN KASUS

1.1 Latar Belakang
Gangguan kepribadian (personality disorder)  meliputi sebuah pola maladaptif dari pengalaman batin dan perilaku yang bertahan lama, kembali kemasa remaja dan masa dewasa yang termanifestasi sedikitnya dua area berikut ini (1) kognisi, (2) pengaruh, (3) fungsi interpersonal, dan (4) pengendalian impuls. Pola yang menetap seperti ini nyata di dalam berbagai macam orang dan situasi sosial yang menyebabkan kesulitan dan kerusakan. Gangguan kepribadian menunjukkan berbagai macam dan pola perilaku yang kompleks.
Ekspresi setiap gangguan psikologis memiliki sedikit perbedaan, masalah yang dialami oleh penderita gangguan kepribadian terjadi setiap hari pada saat melakukan interaksi dengan orang lain. Masalah mereka meliputi ketergantungan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan akan keintiman, rasa khawatir yang berlebihan, perilaku yang meledak-ledak, atau amarah yang tidak terkontrol. Individu-idividu tersebut biasanya tidak bahagia dan tidak dapat menyesuaikan diri. Mereka akan terperangkat dalam sebuah lingkaran setan yang akan mengganggu akan gaya pribadi, mereka menjauhkan diri dari orang lain yang semakin menambah masalah mereka dalam menjalin relasi. Karena gangguan kepribadian meliputi seluruh struktur kehidupan individu, biasanya para klinisi menganggap gangguan tersebut sebagai gangguan psikologis yang paling menantang untuk ditangani.
Dalam melakukan evaluasi apakah seseorang mengalami gangguan kepribadian, seorang klinisi menganggap hal tersebut sebagai dampak sejarah hidup seseorang. Apakah masalah tersebut sudah lama dan menyatu dalam kehidupan seseorang? atau apakah ada hubungan dengan suatu peristiwa atau hubungan dengan orang lain? Jika masalah tersebut sepertinya sudah sangat internalisasi dan berjalan lama, dapat dilihat dari perasaan dan tindakan, kemungkinan orang ini mengalami gangguan kepribadian.
Misalnya ada seorang wanita muda yang begitu khawatir apakah ia akan diterima rekan sekerjanya atau tidak, dia takut jika mereka mengkritik pekerjaannya ketika ia meninggalkan kantor. Anggap saja peristiwa tersebut sudah terjadi dalam satu waktu, ia tidak akan diangap mengalami gangguan kepribadian. Lain halnya bila wanita trsebut sudah terlalu sering atau selalu memikirkan perkataan orang lain tentang dirinya, mengejeknya, menyakitinya, atau menghalangi kesuksesannya, hal ini dapat dianggap sebagai sebuah indikasi pola kaku dan penyesuaian diri yang salah dari suatu gangguan kepribadian.
Ada beberapa karakter dalam mendiagnosis gangguan kepribadian, yaitu (1) melihat pola menetap dalam pengalaman batin individu dan perilaku yang berbeda dalam mempersepsikan diri, mempersepsikan orang lain, mempersepsikan peristiwa, jarak, intensitas, kecocokan ekspresi emosional, berfungsi secara interpersonal, kontrol impuls, (2) polanya kaku dan mencakup keseluruhan situasi personal serta sosial, (3) pola ini menyebabkan distres dan impairment, (4) polanya tidak stabil dan bertahan lama dengan onset yang dapat ditelusuri pada masa remaja atau saat memasuki masa dewasa awal.
Pada sebagian besar orang merasa malu pada suatu keadaan tertentu, misalnya dalam situasi yang tidak mereka kenal ketika mengenal orang lain. Mereka mungkin khawatir akan melakukan kesalahan di depan umum dan terlihat bodoh, tetapi jika seseorang selalu merasa terintimidasi oleh situasi sosial, merasa takut dengan orang lain dalam bentuk apapun, dan terganggu oleh kemungkinan dipermalukan di depan umum kemungkinan orang tersebut mengalami gangguan kepribadian menghindar (Avoidant Personality Disorder).
Orang dengan gangguan kepribadian menghindar hampir selalu menjauh dari hubungan sosial, khususnya menghindari setiap situasi yang terdapat potensi adanya ejekan atau luka personal, dan mereka menghindari kegiatan yang bukan merupakan bagian dari kebiasaan mereka sehari-hari. Terkadang mereka membayangkan bencana yang besar sebagai hasil dari kegiatan baru dan menggunkan hal tersebut sebagai alasan untuk menghindari situasi-situasi baru yang membuat mereka dapat menjadi bahan tontonan orang lain. Merasa yakin bahwa secara sosial mereka berada dibawah orang lain, mereka menjadi sangat sensitif terhadap penolakan dan ejekan, serta menganggap komentar sekecil apapun sebagaai suatu kritik.
Sebagai hasil dari suatu keinginan mereka untuk menghindari penolakan dari orang lain, mereka cenderung menyendiri. Pilihan pekerjaan mereka mencerminkan keinginan untuk menjauh dari orang lain, mereka menghindari pekerjaan yang mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika mereka dapat diyakinkan bahwa mereka akan diterima tanpa syarat apapun, maka mererka akan dapat memasuki suatu hubungan yang intim dan akrab. Meskipun demikian, mereka akan tetap menjaga jarak dalam hubungan mereka, berjaga-jaga atas kritikan yang mungkin muncul, kemungkinan dipermalukan atau bahkan ditolak.
Gangguan tersebut memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan gangguan kepribadian skizoid. Dalam kedua gangguan tersebut, individu cenderung menghindari hubungan intim. Bagaimanapun, orang dengan gangguan menghindar sebenarnya mengharapkan kedekatan dan merasakan sesuatu luka emosional atau ketidakmampuan mereka untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang gangguan skizoid lebih memilih untuk sendiri dan tidak merasa tertekan karena mereka tidak dapat terlibat dengan orang lain.
Pada kesempatan ini, penulis sedang melakukan studi kasus pada salah satu mahasiswi Psikologi Unnes semester 4 dengan mengangkat masalah gangguan kepribadian Avoidant Personality Disorder. Pada kasus ini, klien memenuhi beberapa ciri-ciri Avoidant Personality Disorder berdasarkan DSM-IV yaitu menghindari kegiatan kerja yang melibatkan kontak antarpribadi yang signifikan, keengganan untuk terlibat dengan orang-orang tertentu kecuali menjadi suka, pengendalian dalam hubungan intim karena takut menjadi malu atau diejek, dihambat dalam situasi antarpribadi yang baru karena perasaan tidak mampu, melihat diri secara sosial tidak layak atau lebih rendah daripada orang lain diri, keengganan yang berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat dalam kegiatan baru karena takut malu. Dalam studi kasus ini, penulis mencoba untuk mengungkap dan menyelidiki penyebab dari gangguan kepribadian yang dialami klien mulai dari perkembangan klien semenjak lahir sampai sekarang. Setelah mengetahui latar belakang masalah atau riwayat perkembangan hidup klien yang ada hubungannya dengan gangguan kepribadian Avoidant Personality Disorder, maka penulis mencoba memberikan penanganan yang tepat kepada klien supaya klien bisa mengubah kepribadiannya menjadi lebih baik.
1.2 Tujuan Umum
Tujuan umum dari studi kasus ini bagi penulis adalah:
1.    Penulis diharapkan mampu untuk menerapkan ilmu-ilmu dan pengetahuan konseling dan terapi psikologi secara praktis, terintegrasi dan komprehensif.
2.    Penulis bisa mendiagnosa dan mencari solusi dari masalah pada klien, sehingga ditemukan pemecahan masalah untuk memperkaya pengalaman.
3.    Penulis lebih terlatih dan berkompeten dalam menangani permasalahan psikologis pada individu yang membutuhkan pertolongan.
1.3 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam studi kasus ini bagi klien adalah:
1.    Membantu dan menyadarkan klien untuk memahami bahwa hal yang telah dilakukannya itu kurang baik dan merugikan dirinya sendiri.
2.    Membantu mengarahkan dan menemukan jati diri klien ke arah yang ideal dan lebih baik
3.    Mengganti pola perilaku gangguan kepribadian pada klien
4.    Memberikan solusi dan tindakan yang lebih tepat supaya gangguan yang diderita klien tidak berlangsung dalam kurun waktu yang lama.


BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Avoidant Personality Disorder (AvPD)
Individu dengan gangguan kepribadian menghindar (avoidant) menunjukkan hambatan sosial yang ekstrim dan introversi, yang mengarah pada pola hubungan sosial yang terbatas seumur hidup dan keengganan untuk masuk ke dalam interaksi sosial. Karena mereka juga hipersensitivitas dan mereka takut terhadap kritik dan penolakan. Mereka tidak mencari orang lain, namun mereka menginginkan kasih sayang dan sering merasa kesepian dan juga merasa bosan. Tidak seperti kepribadian skizoid, orang dengan gangguan kepribadian avoidant tidak menikmati kesendirian mereka, ketidakmampuan mereka untuk berhubungan nyaman kepada orang lain menyebabkan kecemasan yang akut, disertai dengan perasaan rendah diri dan kesadaran diri yang berlebihan. Merasa tidak layak serta sosial yang buruk adalah dua hal yang paling lazim dan meneetap pada penderita gangguan kepribadian menghindar (avoidant). Selain itu, penelitian baru-baru ini mendokumentasikan bahwa individu dengan gangguan ini juga menunjukkan sikap takut-takut yang lebih umum dan menghindari banyak situasi dan emosi (termasuk emosi positif).
Individu dengan gangguan kepribadian menghindar beranggapan bahwa berinteraksi dengan orang lain tidak perlu atau tidak begitu penting, dan tidak menarik sama sekali bagi mereka. Penghindaran tersebut dapat disebabkan individu menghindari atau takut rasa akan diejek, menjadi bahan tertawaan, memalukan, ditolak atau disukai oleh orang lain. Kebanyakan individu dengan gangguan kepribadian merasa hidup sendiri atau dikucilkan dalam lingkungannya.
Bagi individu dengan gangguan kepribadian menghindar, bersahabat bukanlah hal yang penting baginya, ia tidak akan bersusah payah menjalin persahabatan dengan orang lain atau kelompok seandainya ia tidak diterima. Bila ia berada atau bersama orang lain, individu AvPD takut melakukan kesalahan dalam pembicaraan atau takut tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang lain.
Individu dengan gangguan kepribadian menghindar mempunyai karakteristik perhatian berlebihan pada penampilan perilaku, malu berhubungan dengan orang lain, kesulitan dalam mengekspresikan perasaan-perasaannya dan adanya perasaan kesepian (keterasingan). Individu dengan gangguan AvPD tidak merasakan ada gangguan dalam dirinya, hal inilah yang menyulitkan gangguan ini untuk disembuhkan, individu tersebut sering menyebutkan dirinya “malu” setiap kali berhadapan dengan orang lain. Bentuk-bentuk penghindarannya seperti mengasingkan dirinya, mudah tersinggung dan menjauhkan dirinya dari orang lain. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penolakan atau penghinaan dirinya.
Beberapa gejala perilaku gangguan kepribadian menghindar kadang membingungkan dengan gejala yang ada pada sosial phobia (SAD, Social Anxiety Disorder) dimana keduanya menghindari kontak sosial. Hal yang membedakan adalah AvPD lebih cenderung pada karakter “pemalu”, sementara pada individu dengan gangguan sosial phobia sulit untuk berbicara dengan orang lain atau ditempat umum. Perbedaan lainnya individu AvPD tidak pernah takut pada situasi-situasi sosial yang akan dihadapinya.
Berbeda halnya dengan individu pemalu, penderita gangguan kepribadian menghindar melakukan sesuatu agar dirinya tidak menonjol dimuka umum, misalnya saja ia akan memilih tempat duduk dibelakang dimana ia tidak akan menjadi pusat perhatian orang, individu ini melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk “membaca situasi” agar ia dapat merasa nyaman dan aman dari pandangan atau perhatian orang lain.


2.2 Kriteria Avoidant Personality Disorder (AvPD)
Menurut DSM – IV – TR, sebuah pola meresap inhibisi sosial, perasaan tidak mampu, dan hipersensitivitas terhadap kritik negatif, seperti ditunjukkan sekurang-kurangnya empat dari berikut:
a.       Menghindari kegiatan kerja yang melibatkan kontak antarpribadi yang signifikan.
b.      Keengganan untuk terlibat dengan orang-orang tertentu kecuali menjadi suka.
c.       Pengendalian dalam hubungan intim karena takut menjadi malu atau diejek.
d.      Keasyikan dengan menjadi pengkritik atau ditolak.
e.       Dihambat dalam situasi antarpribadi yang baru karena perasaan tidak mampu.
f.       Melihat diri secara sosial tidak layak atau lebih rendah daripada orang lain diri.
g.      Keengganan yang berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat dalam kegiatan baru karena takut malu.
2.3 Gejala Avoidant Personality Disorder (AvPD)
Gangguan kepribadian AvPD memiliki beberapa gejala yang serupa dengan sosial phobia, agoraphobia dan kepribadian pemalu. Adanya kemiripan diskripsi inilah barangkali International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) tidak mencantumkan jenis gangguan ini dalam taksologi gangguan kepribadian. Gejala dari gangguan kepribadian menghindar ini adalah
a.      Sensitif terhadap kritikan dan penolakan
b.      Mengisolasi dirinya sendiri
c.       Malu berlebihan ketika menjalin hubungan dengan orang lain
d.      Menghindari hubungan dengan orang lain
e.       Minder
f.       Rendah Self esteem
g.      Tidak percaya pada orang lain
h.      Menjaga jarak hubungan emosional dengan orang lain, tidak ingin akrab.
i.        Waspada berlebihan
j.        Bermasalah dalam dunia kerja
k.      Merasa dirinya sendirian
l.        Perasaan inferioritas
m.    Suka menyalahkan dirinya sendiri
n.      Mempunyai fantasi tinggi
2.4. Faktor Penyebab Avoidant Personality Disorder (AvPD)
Faktor penyebab langsung munculnya gangguan ini tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan penolakan secara langsung oleh orangtua pada masa kanak-kanak merupakan salah faktor. Penolakan tersebut membuat anak berhati-hati, selalu menjaga dirinya tidak melakukan kesalahan di depan orang lain mulai berkembang hingga terbentuknya penyimpangan perilaku sampai memasuki fase dewasa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepribadian avoidant mungkin memiliki asal-usul/bawaan pada bayi yaitu "terhambat" temperamen dan rasa malu yang menghambat dalam situasi baru dan ambigu. Selain itu, sekarang ada bukti bahwa rasa takut negatif dievaluasi adalah yang menonjol dalam gangguan kepribadian avoidant. Ketertutupan dan neurotisisme keduanya tinggi. Secara genetik dan biologis ini menghambat temperamen yang mengarah ke gangguan kepribadian avoidant pada beberapa anak yang mengalami emosional pelecehan, penolakan, atau penghinaan dari orang tua yang tidak terutama kasih. Pelecehan dan penolakan akan sangat mungkin menyebabkan cemas dan takut pada pola dalam temperamental menghambat anak.
Orang dengan gangguan kepribadian avoidant begitu takut pada penolakan dan kritik. Mereka umumnya tidak mau untuk memasuki hubungan tanpa jaminan penerimaan. Akibatnya, mereka mungkin memiliki hubungan dengan keluarga mereka saja. Mereka juga cenderung menghindari kelompok pekerjaan atau kegiatan rekreasi karena takut ditolak. Mereka lebih suka makan siang sendirian di meja mereka. Mereka menghindari piknik perusahaan dan pihak lain, kecuali mereka yakin diterima. Gangguan kepribadian avoidant, tampaknya sama-sama sering terjadi pada pria dan wanita. Orang dengan kepribadian avoidant sering menjaga untuk diri mereka sendiri karena takut ditolak. Diyakini mempengaruhi antara 0,5% dan 1,0% dari populasi umum.
Tidak seperti orang-orang dengan skizofrenia, gangguan kepribadian avoidant memiliki minat, dan perasaan kehangatan terhadap orang lain. Namun, takut ditolak sehingga mencegah mereka dari berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu kasih sayang dan penerimaan.
Dalam situasi sosial, mereka cenderung untuk memeluk dinding dan menghindari berbicara dengan orang lain. Mereka takut masyarakat membuatnya malu, pikiran bahwa orang lain mungkin melihatnya menangis, atau bertindak gugup. Mereka cenderung menempel pada rutinitas mereka dan membesar-besarkan risiko atau usaha dalam mencoba hal-hal baru. Mereka mungkin menolak untuk menghadiri pesta yang merupakan jam perjalanan dengan dalih perjalanan pulang terlambat akan terlalu berat. Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian dependen dan borderline.

2.5. Perspektif Psikososial Mengenai Avoidant Personality Disorder (AvPD)
2.5.1 Perspektif belajar
Teori belajar cenderung lebih fokus pada perilaku dari pada gagasan tentang ciri kepribadian. Demikian pula, mereka berpikir lebih dalam hal perilaku maladaptif daripada gangguan "kepribadian." Ciri-ciri kepribadian yang berteori untuk mengarahkan perilaku-perilaku yang konsisten untuk memberikan dalam beragam situasi. Banyak kritikus (misalnya, Mischel, 1979), berpendapat perilaku yang sebenarnya tidak konsisten di seluruh situasi seperti teori sifat. Perilaku mungkin lebih bergantung pada tuntutan situasional dari bergantung pada sifat. Sebagai contoh, kita dapat menggambarkan seseorang sebagai pemalas dan tidak termotivasi. Tapi apakah orang ini selalu malas dan tidak termotivasi? Bukankah ada beberapa situasi di mana orang tersebut mungkin energik dan ambisius? Apa perbedaan dalam situasi dapat menjelaskan perbedaan dalam perilaku? Teori belajar umumnya tertarik dalam mendefinisikan belajar dan keadaan yang menimbulkan perilaku maladaptif sebagai penguatan mereka. Teori belajar menekankan bahwa banyak pengalaman penting masa kecil terjadi yang berkontribusi terhadap pembangunan kebiasaan maladaptif yang berhubungan dengan orang lain, yang merupakan gangguan kepribadian.
2.5.2 Psikodinamik
Mereka memiliki perasaan rendah diri (inferiority complex), tidak percaya diri, takut untuk berbicara di depan publik atau meminta sesuatu dari orang lain. Mereka seringkali mensalah artikan komentar dari orang lain sebagai menghina atau mempermalukan dirinya. Oleh karena itu, individu dengan gangguan kepribadian menghindar biasanya tidak memiliki teman dekat. Secara umum dapat dikatakan bahwa sifat yang dominan pada individu ini adalah malu-malu. Prevalensi gangguan kepribadian menghindar adalah 1-10 % dari populasi pada umumnya.gangguan kepribadian ini dapat dikatakan sebagai gangguan yang umumnya dimiliki oleh individu. Bayi-bayi yang diklasifikasikan sebagai memiliki tempramen yang pemalu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki gangguan ini daripada bayi-bayi yang aktif bergerak (berdasarkan activity-approach scales).
2.5.3 Behavioral
Teori kognitif sosial Albert Bandura (1973, 1986) telah mempelajari peran belajar observasional di perilaku agresif, yang merupakan salah satu komponen umum perilaku antisosial. Dia dan rekan-rekannya (misalnya, Bandura, Ross, & Ross, 1963) telah menunjukkan bahwa anak-anak memperoleh keterampilan, termasuk keterampilan agresif, dengan mengamati perilaku orang lain. Eksposur terhadap agresi mungkin datang dari menonton program televisi kekerasan atau orang tua yang bertindak kekerasan kemudian anak mengamati terhadap satu sama lain. Bandura tidak percaya anak-anak dan orang dewasa menampilkan perilaku agresif dalam cara mekanis.
Mereka mudah sekali keliru dalam mengartikan komentar orang lain, seringkali komentar dari orang lain dianggap sebagai suatu penghinaan atau ejekan. Pada umumnya sifat dari orang dengan gangguan kepribadian menghindar adalah seorang yang pemalu. Menurut teori kognitif-behavioral, pasien sangat sensitif terhadap penolakan karena adanya pengalaman masa kanak-kanak, misalnya : karena mendapat kritik yang pedas dari orang tua, yang membuat mereka mencap diri mereka tidak mampu (inadequate).
2.5.4 Kognitif
Psikolog kognitif telah menunjukkan bahwa cara-cara di mana orang dengan gangguan kepribadian menafsirkan pengalaman sosial mempengaruhi perilaku mereka. Antisosial remaja, misalnya, cenderung keliru menafsirkan perilaku orang lain sebagai ancaman (KA Dodge, 1985). Mungkin karena pengalaman keluarga dan masyarakat, mereka cenderung menganggap bahwa orang lain ingin mereka sakit ketika mereka tidak. Pada kepribadian avoidant, kandungan kognisi menjalin hubungan timbal balik patologis dengan struktur kognisi (misalnya perangkat penyusunan informasi), dimana hubungan ini yang bertanggungjawab atas terjadinya gangguan. Sifat terlalu curiga adalah pusat dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan memeriksa lingkungan mencari potensi ancaman. Mereka sensitif terhadap segala perasaan dan niatan orang lain terhadap mereka. Yang dihasilkan adalah sistem pemrosesan informasi yang dikuasai oleh terlalu banyak stimulus yang menghambat mereka memahami sesuatu yang biasa atau keadaan sekitar. Akibatnya, penilaian terhadap potensi bahaya menjadi sangat tinggi, bahkan kejadian yang sebenarnya tidak mengandung bahaya-pun ditandai sebagai ancaman. Karena terlalu banyak potensi ancaman yang masuk maka tidak ada satu informasi-pun yang diolah secara mendalam.
Hipotesis yang menyatakan bahwa setiap sumber stimulasi itu berbahaya berlanjut sebagai akibat dari ketidakpastian, membiarkan sebuah ancaman tanpa diperiksa akan sangat berisiko. Hasilnya, kecemasan meningkat, kepekaan terhadap tanda-tanda bahaya juga meningkat dan kedalaman pemrosesan informasi makin menderita. Akibatnya, seluruh proses kognitif menjadi sangat terbebani karena menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Oleh sebab itu seorang avoidant harus menarik diri demi mendapatkan rasa aman.
2.5.5 Humanistik
Pandangan diri: melihat diri sebagai individu yang tidak mampu dan tidak kompeten dalam bidang akademis dan situasi bekerja. Pandangan tentang orang lain: melihat orang lain yang mengkritik, tidak tertarik, dan penuntut. Kepercayaan: intinya adalah “saya tidak baik...tidak berharga...tidak dicintai. Saya tidak bisa menerima perasaan yang tidak menyenangkan.” Tingkatan kepercayaan yang lebih tinggi adalah “jika orang mendekati saya, mereka akan menemukan “keaslian diri saya” dan akan menolak saya-hal ini tidak bisa diterima.” Tingkat selanjutnya, adalah kepercayaan mengenai instruksi diri (self-instructional) seperti: “lebih baik tidak mengambil resiko,” “sebaiknya saya menghindari situasi yang tidak menyenangkan”, “jika saya merasa atau berpikir sesuatu yang tidak menyenangkan, saya seharusnya mencoba keluar dengan mengacaukan diri.”
2.5.6 Interpersonal
Perasaan utamanya adalah kombinasi kecemasan dengan sedih, dihubungkan dengan kurangnya perolehan kesenangan yang relasi terdekat dan keyakinan diri dalam penyelesaian tugas. Penerimaan yang rendah terhadap disphoria menghambat mereka dalam mengatasi perasaan malu dan membantu mereka untuk lebih efektif. Karena mereka menghayati dan mengawasi perasaan terus menerus, mereka sensitif untuk perasaan sedih dan cemas. Ironisnya, disamping kewaspadaan yang sangat terhadap perasaan tidak nyaman, mereka malu untuk mengidentifikasi pikiran yang tidak menyenangkan itu-kecenderungan yang sesuatu dengan strategi utama yang disebut “cognitive avoidance”. Walaupun mendapatkan masalah, mereka tetap tidak mau terlibat hubungan dengan resiko kegagalan atau penolakan.

BAB 3
IDENTIFIKASI KASUS

3.1 Identitas Klien
Nama               : X (dirahasiakan)
Umur               : 20 tahun
Alamat             : Pati
Jenis Kelamin  : Perempuan
Agama             : Islam
Pendidikan      : kuliah S-1
Anak               : 3 dari 3 bersaudara

3.2 Identitas Orang tua
Identitas Ayah
Nama               : Y (dirahasiakan)
Umur               : 57 tahun
Alamat             : Pati
Agama             : Islam
Pekerjaan         : Pensiun
Identitas Ibu
Nama               : Z (dirahasiakan)
Umur               : 47 tahun
Alamat             : Pati
Agama             : Islam
Pekerjaan         : Ibu rumah tangga

3.3 Identifikasi Masalah
            Masalah pribadi yang sedang dihadapi klien adalah perasaan inferior yang mengganggu kepercayaan dirinya, sehingga klien tidak nyaman atau terkendala dalam berinteraksi dengan orang lain karena sifat kepribadiannya yang tertutup (Introvert) dan mudah tersinggung (sensitif). Sejak kecil klien dibesarkan dengan keluarga yang broken home, lalu dari masalah keluarganya tersebut klien merasa tertekan dan menarik dirinya dari lingkungannya. Klien tidak memiliki banyak teman dan jarang bergaul dengan teman sebayanya. Klien merasa dirinya tidak mampu dan tidak lebih baik dari pada orang lain. Klien enggan terlibat dengan orang lain secara mendalam. Klien mudah tersinggung terhadap kritik dan enggan terlibat dengan banyak orang karena tidak percaya diri tentang dukungan dari orang lain dan kemampuan dirinya sendiri.

3.4. Jenis dan Nama Kasus
Jenis kasus yang terjadi pada klien adalah masalah pada hal kepribadian dengan nama kasus Avoidant Personality Disorder (AvPD).



BAB IV
DATA KASUS

4.1 Data Non Test (Observasi dan Wawancara terhadap Klien)
            Klien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, lahir di Pati 20 tahun yang lalu. Klien dibesarkan dalam kondisi ekonomi orang tua yang termasuk dalam kategori pas-pasan atau sederhana. Sejak SD sampai klien kuliah sekarang, orang tuanya tidak pernah rukun. Orang tuanya sering bertengkar bahkan di depan anak-anaknya. Orang tuanya biasanya bertengkar untuk hal yang sepele. Ibu klien merupakan sosok yang agresif, keras, sensitif, berani, dan galak. Ayah klien merupakan sosok yang penyabar dalam menghadapi ibu klien, namun karena seringnya bertengkar membuat ayahnya terbawa emosi untuk meladeni ibu klien.
            Klien paling tidak suka kalau melihat orang tuanya bertengkar, karena membuatnya badmood. Kalau orang tuanya bertengkar, klien langsung ngambek walaupun tidak ada sangkut pautnya dengan klien. Klien ngambek dengan cara tidak mau makan berhari-hari, namun tetap minum air putih. Selain itu, klien juga mengurung diri di kamar dengan menangis tanpa diketahui orang tuanya yang sedang bertengkar. Klien kadang melerai pertengkaran orang tuanya. Ketika orang tuanya bertengkar, klien memiliki harapan untuk melupakan masalahnya, namun selalu saja teringat dan langsung ngambek. Klien cukup tertekan dengan masalah ini yang sudah dideritanya selama bertahun-tahun.
Gaya interaksi antara ayah dan ibu subjek menggunakan nada yang tinggi, saling tidak menghormati satu sama lain. Ibunya suka menjelek-jelekkan ayahnya kepada klien. Ayahnya tidak mau curhat kepada klien tentang masalahnya itu karena tidak mau membuat klien terbebani, sedangkan ibunya suka curhat tentang keburukan ayah klien kepada klien. Ketika klien dicurhati ibunya, sikap subjek adalah tidak mau mendengarkan. Menurut klien, ibunya suka mencari gara-gara dengan ayah klien, sehingga klien tidak dekat dan tidak menyukai sosok ibunya. Klien lebih dekat dan menyukai figur ayahnya.
            Ibunya pernah cerita kepada klien bahwa ibunya tidak menyukai ayah klien karena dulunya ayah klien kerja di pelayaran dengan gaji besar, suka main perempuan, dan mabuk-mabukkan. Mendengar cerita tersebut klien tidak percaya, karena klien yakin bahwa ayahnya baik. Ketika ayah klien sudah berganti profesi dengan kerja di pengadilan, ibu klien menuduh ayah klien telah selingkuh dengan teman kerjanya di kantor. Sampai sekarang ayah klien yang sudah pensiun tetap saja bertengkar dengan ibu klien. Ayah klien pernah meminta cerai, namun ibu klien tidak mau. Ayah dan ibunya sudah pisah ranjang sejak subjek masih SD sampai sekarang.. Ibunya pernah sampai buta dalam waktu yang singkat karena dipukul ayah klien.
            Melihat masalah yang sudah dideritanya selama 20 tahun, subjek sering berpikiran ingin bunuh diri karena tertekan dengan ketidak harmonisan orang tuanya. Pikiran bunuh diri ini sudah dipikirkannya sejak SD, namun klien tetap berusaha mengendalikan pikiran negatifnya itu. Klien melampiaskan amarahnya dengan mengurung diri di kamar dan menarik diri dari lingkungan. Klien merupakan orang yang introvert dan jarang bergaul dengan teman sebayanya. Klien memiliki pandangan bahwa dirinya merupakan sosok yang supel, lucu, baik, tidak sombong, pemalu, kadang-kadang takut, kadang-kadang pendiam, sulit memaafkan orang lain, tertutup dengan orang yang baru dikenalnya, dan kalau ngambek bisa berhari-hari lamanya.
            Klien dibesarkan dari kecil dengan pola didikan yang otoriter, yaitu sikap orang tua yang keras dan banyak menuntut klien untuk bisa berprestasi di sekolah dengan baik. Sejak SD klien merupakan murid yang tergolong pintar karena selalu ranking 1 di kelas mulai kelas 1 sampai 3, namun prestasinya menurun sejak kelas 4 SD sampai sekarang. Ketika klien semakin dewasa, orang tua klien menjadi lebih demokratis.
Walaupun orang tua klien lebih demokratis, klien tetap memiliki kepribadian yang pemalu dan kurang bisa membaur dengan lingkungan pergaulan. Klien memiliki keengganan untuk berkomunikasi atau terlibat kepada orang lain yang belum dikenalnya. Klien lebih membatasi hubungannya dalam bergaul karena malu dan perasaan inferiornya. Di lingkungan Kampus, klien hanya memiliki sedikit teman dekat dan sedikit dalam memiliki kenalan. Di Kampus, klien tidak popular sama sekali. Klien merasa tidak memiliki kepercayaan diri untuk memulai pembicaraan dengan orang lain, sehingga selalu orang lain yang harus memulai pembicaraan dengannya. Klien juga menutup diri dan tidak dekat dengan satu pun penghuni kosnya. Ada rasa minder karena inferior dari dalam dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain. Klien orang yang mudah tersinggung terhadap perkataan orang lain, terutama kritikan.
Klien merasa bahwa dirinya tidak mampu dari orang lain dan merasa lebih rendah dari orang lain. Klien hidup menyendiri dan terlihat seperti dikucilkan oleh lingkungan. Klien merupakan orang yang kurang ekspresif, sehingga sering sekali memendam perasaannya. Klien menghindari lingkungannya dengan mengasingkan diri dan mudah tersinggung untuk hal-hal yang sepele. Sifat sensitif klien ini sebenarnya cukup mengganggunya, sehingga klien sulit memafkan kesalahan orang lain. Klien merasa takut mengambil resiko dalam beraktivitas dalam kegiatan yang baru karena perasaan takutnya.

4.2. Data Test Psikologi
4.2.1 Tes DAP/DAM
Dari tes DAP yang sudah dilakukan, klien diinterpretasikan sebagai berikut:
Ø  Dikuasai emosi, menekankan masa yang lalu
Ø  Tendensi impulsif, self oriented introvert
Ø  Banyak dikendalikan uncensciousnes
Ø  Perasaan tidak pasti, tertekan dalam berhubungan dengan lingkungan
Ø  Regresi, kurang semangat, inferior, kurang mampu
Ø  Ada hambatan dalam berhubungan dengan lingkungan
Ø  Tendensi schizoid
Ø  Kurang berani tampil
Ø  Cemas, insecure, ragu-ragu atau takut
Ø  Kontrol rigid (didasari tekanan dan kurang mampu)
Ø  Ketakutan, tidak aman, tidak pasti,
Ø  Penekanan pada fantasi
Ø  Terlalu membanggakan intelektual
Ø  Ada kemungkinan gangguan organis (sering sakit, kerusakan otak, kemunduran)
Ø  Suka menyerang
Ø  Tidak pasti
Ø  Sopan
Ø  Tidak masak, egosentris, regresi
Ø  Cenderung feminim, oral erotis, dependensi
Ø  Perasaan inferior
Ø  Mencoba mencari kompensasi
Ø  Menghindari dorongan fisik
Ø  Merasa kurang sehat atau kurang kuat
Ø  Kemauan lemah
Ø  Banyak mengharap bantuan
Ø  Merasa kurang lincah atau kurang mampu
Ø  Ada masalah yang ditutupi atau dipendam
Ø  Kurang percaya diri
Ø  Belum tahu jati dirinya.

4.2.2 Tes Baum
Dari tes Baum yang sudah dilakukan, klien diinterpretasikan sebagai berikut:
Ø  Kecenderungan impulsif yang berhubungan dengan kepuasan
Ø  Cenderung introvert atau orientasi pada diri
Ø  Cenderung berorientasi pada masa lampau
Ø  Senang menimbang dirinya, sukar dipengaruhi
Ø  Memiliki hasrat yang tinggi
Ø  Energi atau kemampuannya lemah, tetapi aspirasinya terlalu tinggi
Ø  Fantasi yang lebih besar atau image negatif
Ø  Intelektual, penuh dunia idea, Fleksibilitas
Ø  Kurang adanya dorongan untuk mencapai sesuatu
Ø  Kemampuan kurang, pengambilan keputusan tidak tegas
Ø  Ragu-ragu, labil, ada keinginan untuk mendominasi
Ø  Ada keinginan exhibitionisme
Ø  Cenderung menutup diri
Ø  Memiliki suasana hati yang hidup, menyenangkan, lemah
Ø  Pendiam tapi perasaannya dalam, cenderung menolak dunia luar
Ø  Egosentris, mudah tertekan atau depresif, kekanak-kanakan
Ø  Ada keinginan yang ingin dicapai, ada keinginan berprestasi dan kerja sebanyak mungkin
Ø  Kurang dapat menentukan sikap, tidak ada kepastian dalam menghadapi lingkungan
Ø  Hambatan perasaan karena adanya traumatis pada masa lalu
Ø  Kurang percaya diri, cenderung regresi, adanya konflik
Ø  Konkrit menghadapi sesuatu, cenderung statis, gejala retardasi
Ø  Kemungkinan lambat belajar, motorik agak kasar, sukar belajar
Ø  Lambat tapi pasti, kemungkinan hambatan dalam perkembangan
Ø  Banyak dipengaruhi ketidaksadaran, terikat pada insting dan tradisi

4.2.3 Tes House Tree Person (HTP)
Ø  Cenderung menutupi masalah yang berhubungan dengan keluarga
Ø  Secara psikologis juh dengan ibunya
Ø  Memiliki hubungan yang lebih baik kepada ayah daripada ibunya
Ø  Ada perasaan tidak aman
Ø  Memiliki hambatan dalam mengekspresikan perasaan
Ø  Cenderung menarik diri, namun punya keterbukaan psikologis
Ø  Memiliki usaha untuk perlindungan diri
Ø  Memiliki kesediaan berkomunikasi yang cukup baik

BAB 5
ANALISIS DAN DIAGNOSIS

5.1 Analisis
Dari pemeriksaan data secara psikologis terhadap diri klien, dalam hal ini penulis menggunakan tes grafis menghasilkan analisis sebagai berikut:
Klien adalah seorang pribadi yang introvert, cenderung tertutup, dan perasaan tidak pasti. Klien memiliki perasaan inferior karena merasa tidak sebagus orang lain. Perasaan seperti ini mempengaruhi dalam berinteraksi dan membangun relasi pergaulan dengan lingkungannya. Hal tersebut membuat klien tertutup dan kurang dalam berinteraksi dengan orang lain. Klien merasa tertekan dalam berhubungan dengan lingkungannya. Klien cenderung lebih suka memendam masalahnya daripada cerita kepada orang lain untuk menukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahannya. Klien memiliki kemauan yang lebih untuk maju, namun kemampuannya kurang mendukung. Klien sulit memaafkan orang lain karena cenderung berorientasi pada masa lampau. Kemungkinan klien mengalami sikap inferior karena terungkap di tes psikologis bahwa klien cenderung memiliki kemampuan belajar yang terlambat dalam hal akademik maupun perkembangan psikologisnya. Terungkap bahwa klien memiliki masalah keluarga dan cenderung ditutupinya. Klien kurang ada motivasi atau dorongan untuk memiliki teman yang banyak. Dari beberapa ciri-ciri yang ada, penulis menyimpulkan bahwa klien memiliki mengalami Avoidant Personality Disorder (AvPD).

5.2. Diagnosis
Melihat uraian kasus diatas, dapat dikemukakan beberapa hal yang melatar belakangi klien yang mengalami Avoidant Personality Disorder (AvPD):
Dalam pandangan psikolog kognitif, telah menunjukkan bahwa cara-cara di mana orang dengan gangguan kepribadian menafsirkan pengalaman sosial mempengaruhi perilaku mereka. Antisosial remaja, misalnya, cenderung keliru menafsirkan perilaku orang lain sebagai ancaman. Klien terbukti keliru menafsirkan gaya pembicaran atau komunikasi temannya yang sebenarnya adalah biasa saja namun ditafsirkan klien sebagai ancaman yang membuat dirinya tersinggung. Mungkin karena pengalaman keluarga dan masyarakat, klien cenderung menganggap bahwa orang lain ingin menyakitinya, padahal niat orang lain tidak seperti itu. Hal ini mungkin karena terbawa oleh sikap ibu klien dengan gaya berbicara yang cukup pedas, cerewet, dan tanpa sadar menyinggung perasaan klien. Klien memiliki sikap yang tidak mudah mempercayai orang, sehingga sifat terlalu curiga adalah pusat dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan memeriksa lingkungan mencari potensi ancaman. Mereka sensitif terhadap segala perasaan dan niatan orang lain terhadap mereka.
Klien juga memenuhi beberapa ciri-ciri Avoidant Personality Disorder menurut DSM-IV, yaitu menghindari kegiatan kerja yang melibatkan kontak antarpribadi yang signifikan, keengganan untuk terlibat dengan orang-orang tertentu kecuali menjadi suka, pengendalian dalam hubungan intim karena takut menjadi malu atau diejek, dihambat dalam situasi antarpribadi yang baru karena perasaan tidak mampu, melihat diri secara sosial tidak layak atau lebih rendah daripada orang lain diri, keengganan yang berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat dalam kegiatan baru karena takut malu.
Dalam PPDGJ-III, klien memenuhi kategori sebagai individu dengan gangguan kepribadian cemas (menghindar) dengan ciri-ciri yang memenuhi yaitu merasa dirinya tak mampu, tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain; preokupasi yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial; keengganan untuk terlibat dengan orang kecuali merasa yakin akan disukai; dan menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung atau ditolak.
Gangguan AvPD yang dialami oleh klien ini bisa jadi merupakan dampak dari kondisi broken home yang dialami oleh orang tuanya. Kondisi orang tuanya yang sering bertengkar sejak klien masih kecil sampai sekarang membuat klien memiliki respon untuk mengurung diri di kamar sebagai bentuk protes kepada orang tuanya yang sering bertengkar, sehingga pengulangan perilaku mengurung diri di kamar selama berjam-jam membuat klien terbiasa untuk mengurung diri atau menarik diri dari lingkungannya bahkan sampai usia klien yang sekarang ini sudah 20 tahun. Pada dasarnya klien tidak suka ketika melihat orang tuanya bertengkar, sehingga hal ini terbawa ketika klien tidak suka dengan sikap orang lain yang membuatnya tersinggung, maka klien akan menghindar dengan menarik diri.

5.3. Dinamika Psikologis
Berdasarkan hasil wawancara, oservasi, dan tes kepribadian, dalam kasus ini penulis menggunakan tes grafis DAP, Baum, dan HTP, maka gambaran psikologis klien adalah sebagai berikut:
            Pola asuh orang tua yang awalnya otoriter membuat klien tumbuh dalam pribadi yang penuh tekanan, sehingga dari tekanan tersebut timbul penarikan diri yang juga disebabkan karena orang tua klien yang broken home sejak klien masih SD. Klien tumbuh sebagai pribadi yang lebih tertekan dan membenci figur ibunya. Klien melampiaskan setiap amarahnya dengan mengurung diri di kamar dan menarik diri dari lingkungan. Klien merupakan orang yang introvert dan jarang bergaul dengan teman sebayanya. Karena seringnya gambek ketika orang tuanya bertengkar, klien memiliki kebiasaan murah tersinggung. Klien tumbuh sebagai remaja yang tidak percaya diri dan tidak popular diantara teman sebayanya. Perasaan minder dan merasa tidak mampu sering dialaminya. Klien enggan terlibat dengan orang lain jika dirinya tidak disukai oleh orang tersebut. Klien menghindari kontak interpersonal karena tidak mau tersakiti. Selama ini klien banyak merasa tersakiti oleh ibunya, sehingga klien membenci figur ibunya yang keras dan cerewet. Sampai kuliah sekarang, klien tidak memiliki banyak teman karena sikapnya yang tertutup.

BAB 6
PROGNOSIS

            Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang dinamis, selalu berubah-ubah dalam perkembangan hidupnya. Perubahan tersebut biasanya dipengaruhi oleh lingkungan individu. Seseorang yang pendiam dan pemalu yang diletakkan dalam lingkungan yang mendukungnya untuk menjadi pribadi yang aktif dan interaktif akan membuatnya berubah, karena motivasi eksternal dari lingkungannya memberikan dorongan untuk berubah bahwa diri seseorang tersebut harus bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Walaupun kepribadian cenderung menetap, namun siapapun bisa mengubah kepribadiannya jika ada niat tulus dalam diri sendiri, orang yang membantunya untuk berubah, serta upaya serta daya juang untuk berubah walaupun banyak hambatan yang akan terjadi.
            Walaupun klien mengalami Avoidant Personality Disorder (AvPD) pada masa remajanya, namun sebenarnya klien masih bisa untuk mengubah masalahnya itu. Penulis memperhatikan bahwa klien merupakan individu yang mau mendengarkan saran orang lain, terlebih lagi penulis memiliki kedekatan yang baik terhadap klien sejak klien kuliah semester 1. Dari pengalaman terdahulu,  klien sudah beberapa kali menceritakan masalahnya kepada penulis dengan bertemu secara langsung dan penulis memberikan solusi serta kata-kata motivasi supaya klien bisa mengatasi masalahnya. Terlihat bahwa klien selalu mau mendengarkan saran penulis dengan fokus dan berusaha untuk mengikuti saran dari penulis. Hal ini membuktikan bahwa klien sebenarnya memiliki kepercayaan yang besar terhadap apa yang penulis katakan. Dari pengalaman ini terlihat bahwa klien berpotensi besar bisa mengatasi masalah Avoidant Personality Disorder (AvPD) yang dimilikinya.
            Melihat kepercayaan klien pada penulis serta adanya niat untuk berubah menjadi lebih baik dalam membentuk kepribadiannya, maka penulis berkeyakinan bahwa klien akan mendapatkan keberhasilan dalam memperbaiki pribadinya dengan fokus pada pengubahan pikiran dan perilaku yang selama ini salah untuk dilakukan. Melihat keadaan klien yang sebenarnya memiliki sikap yang hangat, ramah, dan menyenangkan, maka hal ini akan membuat klien menjadi lebih baik dalam menjalin interaksi yang dengan lingkungannya, sehingga masalah klien dalam mengalami AvPD diprediksi bisa berkurang dan mengarah pada perubahan yang positif.


BAB 7
TREATMENT

Dalam melaksanakan studi kasus ini, penulis melakukan proses konseling dan terapi dengan klien dengan menggunakan pendekatan Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Cognitive Behaviour Therapy (CBT) sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pendekatan ini didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturiasasi kognitif dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa proses konseling yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

7.1 Proses Konseling
Dalam proses konseling, penulis tidak mengalami kesulitan dalam menggali data dari klien, karena klien sangat mengenal penulis sejak 3 tahun terakhir. Klien dan penulis memiliki hubungan yang baik selama 3 tahun ini, sehingga klien mau terbuka terhadap masalahnya. Selain itu, klien mau terbuka dengan masalahnya karena penulis dan klien kuliah di jurusan dan universitas yang sama dan juga berasal dari daerah yang hampir sama. Penulis berasal dari Kudus, sedangkan klien berasal dari Pati. Secara geografis Kudus dan Pati merupakan kota yang berdekatan alias bertetangga, sehingga penulis dan klien dalam melakukan komunikasi tidak mengalami masalah.
Penulis menerima keadaan klien sebagaimana adanya dengan sikap yang hangat dan memberikan empati kepada klien. Hal yang sama dilakukan oleh klien kepada penulis, yaitu klien menerima penulis dengan senang hati tanpa merasa diganggu waktunya oleh penulis. Klien sangat kooperatif dan mau terbuka kepada penulis mengenai masalahnya. Klien menjelaskan cukup detail tentang masalahnya ini, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Lingkungan kos klien sebagai tempat konseling sangat tenang dan kondusif, karena penulis melakukan konseling pada malam hari dengan janji pertemuan yang sudah diatur sebelumnya. Klien menyadari bahwa masalah kepribadiannya ini harus diatasi, karena klien sebenarnya merasa kurang nyaman dengan kepibadiannya ini dan membuatnya kurang berkembang.

7.2. Rencana Treatment
Untuk rencana treatment yang diberikan penulis terhadap klien adalah melakukan perubahan secara kognitif dan perilaku pada klien, karena konsep utama dari terapi kognitif-perilaku (CBT) adalah peleburan antara pendekatan perilaku dan kognitif. Kognitif-perilaku merupakan pencampuran dari strategi perilaku dan proses kognitif yang bertujuan untuk mencapai perubahan kognisi dan perilaku manusia. Penulis akan melakukan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan diri klien, baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan klien dibanding masa lalu.
Aspek kognitif dalam CBT yang akan penulis lakukan antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi klien untuk belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Pada aspek behavioral dalam CBT, penulis melakukan pengubahan hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh, sehingga klien merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas. Tujuan yang akan dicapai dalam treatment ini adalah adanya perubahan kognitif dan perilaku pada klien yang lebih baik dari pada sebelumnya.
Penulis mengajak klien untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan klien tentang masalah yang dihadapi serta mencari keyakinan dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya. Penulis membantu klien untuk membentuk keyakinan bahwa klien mampu untuk menyelesaikan masalahnya.
Klien diharapkan bisa mengubah caranya berpikirnya dan cara berperilakunya untuk lebih bisa membaur dengan lingkungannya. Penulis juga meminta klien untuk menuli buku diari mengenai apa saja yang dipikirkan dan dilakukannya disetiap harinya. Hal ini penulis lakukan supaya klien dan penulis bisa melihat perkembangan cara berpikir dan berperilaku serta untuk bahan evalusi dan perbaikan.
Teknik yang penulis gunakan adalah cognitive restructuring. Teknik ini fokus pada peristiwa kognitif yang dapat berupa apa yang konseli katakan tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang mereka sadari dan rasakan. Proses kognitif berupa proses pemrosesan informasi. Struktur kognitif berupa anggaran dan kepercayaan tentang dirinya sendiri dan dunia yang berhubungan dengan dirinya. Dalam cognitive restructuring, penulis menggunakan jenis Ellis ‘s Rational-Emotive (Behavior) Therapy, yaitu masalah emosi berasal dari pernyataan irrasional ketika menghadapi kejadian yang tidak sesuai dengan harapannya; mengajarkan klien mengubah pikiran irrasional menjadi pikiran rasional yang lebih positif dan realistis; menantang pikiran irasional dengan memberikan interpretasi rasional terhadap kejadian buruk yang menimpa klien; dan memberikan tugas rumah. Pemberian tugas rumah ini adalah dengan menulis buku diari.
            Beberapa contoh yang penulis lakukan dalam mengubah kognitif klien adalah mengajak klien untuk menentang pikirannya yang salah, yaitu permasalahan bahwa dirinya merupakan pribadi yang inferior. Merasa inferior merupakan suatu kesalahan berpikir karena membandingkan kekurangan dirinya dengan kelebihan orang lain. Penulis meyakinkan bahwa klien merupakan orang yang memiliki kehebatan tersendiri dibidangnya. Setiap orang sulit untuk hebat di semua bidang, sehingga pada umumnya setiap orang hanya bisa 1 bidang. Salah satu kehebatan klien yang terlihat nyata adalah dalam keberhasilannya diterima di Universitas Negeri. Jika dibandingkan dengan penulis, klien jauh lebih hebat daripada penulis karena klien hanya ikut proses seleksi penerimaan mahasiswa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dalam satu kali langsung diterima, sedangkan penulis baru berhasil di terima di PTN dalam proses seleksi yang ke empat. Jika dipikir-pikir, saingan untuk memperebutkan posisi untuk menjadi mahasiswa PTN sangat ketat sekali karena saingannya secara nasional. Ini membuktikan bahwa klien memiliki suatu kehebatan yang seharusnya membuatnya percaya diri, bukan perasaan inferior yang selama ini dipikirkannya.
Beberapa contoh yang penulis lakukan untuk mengubah perilaku klien selain menulis buku diari adalah dengan menyuruh klien untuk lebih aktif dalam mencoba berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Lalu klien juga harus belajar untuk menambah wawasannya dan mengembangkan pengetahuannya dalam memperbaiki kepribadiannya melalui media seperti seminar, menonton program motivasi di televisi, buku, internet dan lain sebagainya. Ini untuk memotivasi klien supaya perilakunya bisa berubah, karena untuk bisa berubah dibutuhkan proses belajar. Semakin cerdas seorang individu karena banyaknya ilmu dan pengetahuan yang didapatkannya melalui upayanya dalam belajar (berperilaku), maka akan membuatnya memiliki struktur kognitif yang lebih positif dan proses mental yang lebih kuat serta berkembang.
7.3. Rencana Treatment Selanjutnya
Rencana treatment selanjutnya adalah mengajak klien membuat kalkulasi terhadap permasalahannya tersebut. Penulis akan mengevaluasi pikiran-pikiran apa saja yang sudah diubah oleh klien serta perilaku apa saja yang sudah dilakukan klien. Setiap perkembangan pikiran dan perilaku yang sudah dilakukan oleh klien akan dicatat oleh penulis untuk bahan evaluasi dan membenahi hal yang kurang untuk mencapai perubahan kepribadian yang lebih baik.

7.4. Evaluasi Treatment
            Selama penulis melakukan rencana treatment yang sudah disepakati oleh klien, maka klien mulai mengambil tindakan yang tegas untuk berubah dengan mengikuti saran dari penulis yang berbasiskan CBT. Klien menginginkan adanya suatu perubahan kepribadian karena tidak mau terus-terusan mengalami Avoidant Personality Disorder. Klien menyadari bahwa ternyata selama ini caranya berpikir dan berperilaku kurang sesuai dan kurang tepat. Penulis hanya bisa membantu klien untuk mengubah pikiran dan perilakunya. Semua keberhasilan ditentukan sebagian besar oleh klien, karena klien tinggal melakukan arahan dan saran dari penulis. Terlihat bahwa klien memiliki niat dan kesungguhan untuk berubah menjadi lebih baik untuk mengubah kepribadiannya. Klien akan berupaya untuk mengubah pikiran yang selama ini menghambatnya serta mengubah perilakunya.


BAB 8
KESIMPULAN, PENDAPAT, DAN SARAN

8.1. Kesimpulan
Dari hasil analisa, diagnosa, dan treatment serta evaluasi treatment yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
Klien yang mengalami gangguan kepribadian Avoidant Personality Disorder dilatar belakangi oleh kebiasaannya dalam merespon kondisi orang tua yang mengalami disharmonisasi keluarga, sehingga mempengaruhi kepribadian klien.
Dengan melihat hasil evaluasi treatment terlihat bahwa klien memiliki niat dan kesungguhan untuk berubah menjadi lebih baik untuk mengubah kepribadiannya. Klien akan berupaya untuk mengubah pikiran yang selama ini menghambatnya serta mengubah perilakunya.
Terlihat bahwa klien selalu mau mendengarkan saran penulis dengan fokus dan berusaha untuk mengikuti saran dari penulis. Hal ini membuktikan bahwa klien sebenarnya memiliki kepercayaan yang besar terhadap apa yang penulis katakan. Dari pengalaman ini terlihat bahwa klien berpotensi besar bisa mengatasi masalah Avoidant Personality Disorder (AvPD) yang dimilikinya.
8.2. Pendapat
            Pada dasarnya klien merupakan orang yang menyenangkan, baik, ramah, hangat, sopan, dan polos. Klien sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan kepribadiannya. Pada dasarnya tidak ada orang yang sempurna, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Seharusnya klien memiliki kepribadian yang lebih berkembang karena bidang ilmu kuliah yang dipelajarinya adalah tentang perilaku manusia, sehingga ilmu yang didapatkannya di bangku kuliah seharusnya bisa diterapkannya untuk memperbaiki gangguan kepribadiannya tersebut.

8.3. Saran-saran
            Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis memberikan beberapa saran kepada klien yaitu sebagai berikut:
a.    Klien harus belajar mengembangkan pengetahuannya dalam memperbaiki kepribadiannya melalui media seperti seminar, program motivasi di televisi, buku, internet dan lain sebagainya.
b.    Klien harus belajar ikhlas dalam memahami keragaman sifat manusia supaya kebiasaannya yang mudah tersinggung bisa berkurang bahkan menghilang, karena pada dasarnya tidak ada perkataan dan perbuatan yang sempurna sebagaimana diri klien yang tidak terlepas dari membuat kesalahan kepada orang lain.
c.    Klien bisa menemukan bakatnya lalu mengembangkan, karena perasaan inferiornya yang membatasi hubungannya dalam bergaul bisa berkurang saat dirinya mengasah bakat yang merupakan kelebihannya.
d.   Klien harus berfokus kepada kelebihan dirinya untuk menghilangkan perasaan inferiornya, karena pikiran yang salah akan mengakibatkan fokus yang salah.
e.    Klien tidak perlu membandingkan kelemahan dirinya dengan kelebihan orang lain, karena itu merupakan cara berpikir yang salah. Justru pikiran ini yang menyebabkan seseorang menjadi minder dan memiliki perasaan inferior.
f.     Klien harus berusaha meningkatkan kualitas dirinya sampai setara dengan orang yang dianggapnya superior, sehingga klien akan memiliki pemikiran baru bahwa dirinya bukanlah orang yang inferior lagi.
g.    Klien harus mencoba untuk lebih banyak melakukan interaksi sosial lebih sering dari pada sebelumnya serta melibatkan dirinya dalam pergaulan yang positif. Pergaulan ini bisa dipilih oleh klien berdasarkan orang yang disukainya, orang yang satu hobi atau bakat, orang yang memiliki cita-cita yang sama, atau bisa juga orang yang memiliki asal daerah yang sama.
h.    Klien harus lebih bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, supaya klien mendewasa menjadi pribadi yang lebih bijak. Klien harus sadar bahwa dirinya dianugreahi Tuhan otak yang luar biasa serta fisik yang sempurna, sehingga klien memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pribadi yang berkembang leih pesat dan unggul.
i.      Klien harus berani mengambil resiko yang ada tanpa harus memikirkan rasa malu atau takut, karena perasaan negatif tersebut akan mengambat dirinya untuk bisa berkembang. Klien harus menanamkan kepada dirinya bahwa resiko yang besar akan menghasilkan kesuksesan yang besar, sehingga hal ini akan memotivasi klien untuk bangkit dan selalu berupaya untuk mengubah pribadinya dengan keberanian mengambil resiko besar untuk perubahan yang besar.




DAFTAR PUSTAKA

Halgin, Richard P. dan Whitbourne, Susan Kraus. 2011. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Ganguan Psikologis. Jakarta: Salemba Humanika
https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Avoidant+Personality+Disorder
 

0 comments:

Post a Comment

 

Tentang Pemilik Blog Ini

Lagu

Blogger news


Blogger templates