HAMBATAN PERKEMBANGAN
TERLAMBAT BICARA DYSPHATIC
DEVELOPMENT PADA ANAK
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hambatan
Perkembangan Rombel 4
yang diampu oleh Sugiariyanti, S.Psi., M.A.
Oleh :
1.
Haryo Suryo Anindita (1511413126)
2.
Riko Septyan Nor
Saputra (1511413127)
3.
Hergi Julian
Agashi (1511413133)
JURUSAN
PSIKOLOGI
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2015
_____________________________________________________
BAB I
GAMBARAN KASUS
1.1.
Identitas Klien
a.
Nama : R. A.
P
b.
TTL :
Demak, 30 Desember 2011
c.
Usia : 4
Tahun 2 Bulan
d.
Jenis Kelamin : Laki-laki
e.
Alamat : Demak
f.
Pendidikan : PAUD
g.
Pekerjaan :
Pelajar
h.
Anak ke : 1
(Satu)
i.
Status Perkawinan : Belum
j.
Agama : Islam
k.
Suku : Jawa
l.
Warga Negara : Indonesia
1.2.
Riwayat Kesehatan dan Perkembangan
a.
Riwayat Kesehatan dan Perkembangan Fisik
Selama proses persalinan subjek dilahirkan secara normal. Pada usia 1
tahun, subyek masuk rumah sakit akibat penyakit Flek dan dirawat selama 1
minggu. Pada usia 2 tahun, subyek mulai mengucapkan kata pertamanya dengan baik
yaitu ibu dan ayah. Namun, saat menginjak usia 3 tahun, orangtua subjek
merasakan adanya kejanggalan yang terjadi terhadap anaknya. Awalnya, subjek
sedang mengaji namun dia kesulitan dalam mengucapkan huruf Arab “sa”, kemudian
dalam berbicara, kata-kata yang diucapkan subjek sulit untuk dimengerti karena
kosakata yang diucapkan benar-benar tidak jelas berbeda dari anak lain yang
seumuran. Subjek kesulitan mengucapkan huruf R, P, Q, N, D dan J pengucapannya
hampir sama serta kebanyakan huruf depan dari setiap kata tidak diucapkan,
misalnya otore (harusnya motore), ase (harusnya mase). Hal tersebut masih
terjadi hingga sekarang, orangtua menganggap hal tersebut merupakan wajar
karena umurnya yang masih belia.
b.
Perkembangan Psikologis
Perkembangan psikologis subjek berlangsung secara dinamis. Subjek tumbuh di
lingkungan pedesaan yang kental akan pelajaran agamanya. Di desa banyak
anak-anak seusia subjek untuk bermain bersama. Subjek tumbuh dengan sifat yang
aktif, namun pemalu dan pendiam karena
subjek kurang bisa berbicara dengan lancar. Orangtua subjek juga cenderung
kasar yang membuatnya menjadi pemurung. Subjek juga cenderung minder, karena
selalu diejek oleh teman-teman yang lebih tua. Hingga sekarang, subjek jarang
berbicara dengan orang yang tidak dikenal dan hanya bicara pada orang-orang
tertentu seperti orangtua dan teman-temannya.
c.
Perkembangan Psikososial
Subjek hidup di lingkungan yang memegang erat agama. Baik di sekolah atau
tempat mengaji, subjek selalu berinteraksi dengan teman-temannya. Untuk teman
yang seumuran, mereka memaklumi kondisi subjek jadi jarang terjadi saling ejek.
Namun, untuk anak yang lebih tua atau bahkan orang dewasa masih saja mengejek
apa yang dikatakan subjek. Hal tersebut membuat subjek minder dan takut
berbicara jika bertemu dengan orang asing atau yang lebih tua dari dia.
1.3.
Identitas Penganggungjawab Klien
a.
Nama : N. A.
b.
Alamat : Demak
c.
Status Hubungan : Ayah
d.
Pendidikan : SMP
e.
Pekerjaan : Tukang
Bangunan
1.4.
Identitas Orang Tua
|
Ayah
|
Ibu
|
Nama
|
N. A.
|
S. A.
|
Pendidikan
|
SMP
|
SMP
|
Pekerjaan
|
Tukang Bangunan
|
Ibu Rumah Tangga
|
Agama
|
Islam
|
Islam
|
Suku
|
Jawa
|
Jawa
|
Alamat
|
Demak
|
Demak
|
1.5. Identitas Keluarga
Nama
|
Jenis Kelamin
|
Pekerjaan
|
Hubungan
|
N. A.
|
Laki-laki
|
Tukang Bangunan
|
Ayah Kandung
|
S. A.
|
Perempuan
|
Ibu Rumah Tangga
|
Ibu Kandung
|
_____________________________________________________
BAB II
ASSESMENT
2.1.
Hasil Pemeriksaan
1.
Hasil Observasi
a.
Kondisi Fisik Subjek
Pada
saat melakukan observasi terhadap subjek, kondisi fisik subjek termasuk dalam
keadaan normal.
b.
Kondisi Bangsal
Subjek
belum pernah melakukan treatment
apapun.
c.
Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Selama
melakukan observasi, subjek merupakan anak yang ceria namun pendiam. Dia juga
malu-malu terhadap orang yang baru dikenal. Subjek juga selalu memasukkan
jarinya ke dalam mulutnya selama observasi dan wawancara.
d.
Saat Wawancara
Pada
saat wawancara, subjek tidak mau sama sekali untuk berbicara. Ketika diajak
bicara selalu melekat pada ibunya. Bahkan subjek juga menangis karena merasa
terganggu oleh kehadiran kami.
e.
Kondisi Lingkungan Rumah
Lingkungan
tempat tinggal subjek merupakan pedesaan yang memegang teguh nilai-nilai agama.
Kondisi sekitar rumah subjek sepi hanya ada kebun milik orang lain.
f.
Sikap Terhadap Pemeriksa
Subjek bersikap ramah terhadap
interviewer. Namun, subjek merasa terganggu karena malu untuk berbicara dan
akhirnya menangis.
2.
Hasil Wawancara
Berdasarkan wawancara yang telah saya lakukan terhadap subjek dan significant others yaitu orangtua
subjek, dapat dikatakan bahwa subjek memiliki hambatan perkembangan bicara.
Gangguan ini dialami subjek semenjak usia 3 tahun. Subjek merasa malu dan tidak
percaya diri untuk berbicara dengan orang lain, apalagi orang yang baru
dikenal.
2.2.
Dinamika Psikologi
R merupakan putra pertama dari pasangan suami istri AH dan SA. Sebagai anak
pertama, R diasuh dengan penuh kasih sayang. Pada usia 3 tahun, ibu R menyadari
bahwa ada ketidakberesan mengenai perkembangan bicara anaknya. Meskipun begitu,
kedua orangtua R tidak memeriksakannya ke dokter dengan alasan tidak masalah.
Bagi mereka selama tidak benar-benar mengganggu, maka hal tersebut bukanlah
permasalahan yang serius.
Dulu, R merupakan
anak yang ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, namun itu semua berubah
ketika ia berusia tiga tahun. Ia hanya mau berkomunikasi dengan anak-anak
seusianya dan ibunya saja. Apabila dengan oranglain, maka ia membutuhkan waktu
yang cukup lama agar dapat memulai komunikasi dengannya, namun apabila proses
adaptasi ini gagal, maka R akan memberontak dan memilih meninggalkan orang
tersebut untuk tidur sambil merengek dengan ibunya.
2.3.
Diagnosa
Berdasarkan uraian di atas, R dapat didiagnosa mengidap gangguan disfasia.
Disfasia adalah bentuk ringan dari aphasia. Aphasia adalah keadaan dimana anak
mengalami gangguan kehilangan kemampuan bicara yang disebabkan karena traumataik
brain injury atau cerebral palsi akibat kecelakaan, tumor, dan pendaharaan
otak. Sedangkan disfasia tidak ditemui adanya kondisi patologis pada otak yang
disebabkan karena brain injury. Biasanya,
lebih ke arah genetik.
R dapat
dikategorikan mengidap gangguan ini karena R masih belum dapat berbicara dengan
baik meskipun sudah berumur empat tahun. Seharusnya, anak pada usia tersebut
sudah cukup lancar berbicara hingga merangkai beberapa kalimat dengan jelas.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, R mengalami gangguan ini
karena dulunya R sering mengalami demam atau panas ketika masih berumur di
bawah satu tahun, sehingga dimungkinkan bahwa ada kerusakan kecil di bagian
cerebral palsinya. Selain itu, adanya faktor genetis dari ayah kandungnya yang
dulu juga mengalami kesulitan berbicara sama halnya dengan anaknya saat ini,
sehingga dimungkinkan adanya faktor genetis yang menyebabkan kondisi R menjadi
seperti sekarang ini.
2.4.
Prognosa
Pertimbangan
yang digunakan untuk menentukan prognosa adalah :
No.
|
Kategori
|
Keterangan
|
Prognosa
|
1.
|
Jenis Gangguan
|
Terlambat Bicara (Dysphatic
Development)
|
Buruk
|
2.
|
Stressor Sosial
|
·
Kondisi
ekonomi kurang baik
·
Kurang
dukungan dari lingkungannya
|
Buruk
|
3.
|
Faktor genetik
|
Ada dari Ayah
|
Buruk
|
4.
|
Usia onset
|
3 Tahun
|
Baik
|
5.
|
Pola asuh
|
Permissive
|
Buruk
|
6.
|
Gangguan
Premorbid
|
Kesulitan mengucapkan huruf R, D, N, P, Q dan huruf
Arab sa.
|
Buruk
|
7.
|
Respon terhadap obat
|
Mau minum obat
|
Baik
|
8.
|
Insight
|
Ada
|
Baik
|
9.
|
Kemauan diri
|
Ada kemauan untuk sembuh
|
Baik
|
10.
|
Riwayat penyakit
|
Penyakit Flek
|
Buruk
|
11.
|
Keluarga
|
Ayah dan ibu penuh perhatian
|
Baik
|
12.
|
Sikap masyarakat
|
Kurang Mendukung
|
Buruk
|
13.
|
Dukungan saudara
|
Ada
|
Baik
|
Berdasarkan data di atas maka prognosa yang diberikan adalah prognosis negatif (kecenderungan ke arah buruk).
_____________________________________________________
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil
asessmen yang telah dilakukan, dapat dijelaskan bahwa subjek mengalami hambatan
perkembangan terlambat bicara Dysphatic
Development. Dysphatic Development adalah gangguan berbahasa dan bicara
akibat dari gangguan perkembangan neurologik. Ia bukan penyakit, tetapi sebuah
dimensi gangguan perkembangan, dalam bentuk sekumpulan gejala berupa:
a.
Pemahaman bahasa mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada produksi bahasa.
b.
Komunikasi dialog akan lebih sulit daripada bicara spontan, sebab
komunikasi dialog berada di bawah situasi perintah.
c.
Terganggunya kelancaran bicara terutama yang menyangkut words finding, dan kesulitan untuk
menyatukan berbagai elemen dalam sebuah cerita.
d.
Mengalami kesulitan membangun kalimat dan bentuk kata-kata.
Beberapa faktor
yang membuat subjek mengalami Dysphatic
Development antara lain:
a.
Faktor keterlambatan kematangan perkembangan.
b.
Faktor telinga.
c.
Faktor inteligensia yang kurang.
d.
Faktor pendukung pengucapan, seperti otot sekitar mulut, rongga mulut, dan
pernapasan.
e.
Faktor psikologis yang dapat menyebabkan anak menjadi gagap.
f.
Faktor pengasuhan.
g.
Faktor pemrosesan informasi, sementara itu faktor yang lain baik termasuk
mempunyai inteligensi normal hingga tinggi.
Peneliti meyakini
bahwa permasalahan yang terjadi pada subjek terletak pada aspek fonologi.
Dimana subjek tidak dapat membedakan bunyi-bunyian yang diucapkan dengan benar
oleh orang sekitarnya. Subjek tidak dapat membentuk bunyian dengan cara urut
dan menempatkannya secara benar di dalam sebuah kata atau kalimat. Hal tersebut
ditandai dengan subjek kesulitan mengucapkan huruf R, P, Q, N, D dan J
pengucapannya hampir sama, serta kebanyakan huruf depan dari setiap kata tidak
diucapkan, misalnya otore (harusnya motore), ase (harusnya mase).
Bila seorang anak
mengalami gangguan fonologis ini, maka kelak ia akan mengalami masalah dalam
bahasa dan tulisan (Van Tiel, 2008). Kami mengamati bahwa subjek yang berusia 4
tahun masih memasukkan jarinya ke dalam mulut, hal tersebut menunjukkan bahwa
fase oral subjek belum dipenuhi dengan baik. Seharusnya di usia 5 bulan,
refleks oral seperti refleks menghisap akan menghilang, berganti dengan
gerakan-gerakan yang baik dengan lidahnya, bibirnya, suara decak halus, rahang
bawah dan tenggorokan (Van Tiel, 2008). Kami meyakini hal ini membuat kontrol
otot-otot mulut subjek kurang terlatih. Otot tersebut meliputi otot lidah,
bibir dan langit-langit mulut.
Dalam aspek
gramatika yang dibagi menjadi aspek morfologi dan aspek sintaksis, kami
meyakini subjek mangalami gangguan dalam kedua aspek tersebut. Pada aspek
morfologi, seorang anak seharusnya mampu membentuk kalimat menggunakan imbuhan
di awal atau di akhir kata. Namun, yang kami temui subjek belum bisa
menggunakan imbuhan kata. Bahkan, subjek dalam membentuk sebuah kalimat masih
menghilangkan beberapa kata seperti otore (padahal yang dimaksud motore), ase
(yang dimaksud mase).
Meike Pronk-Boerma
membagi perkembangan periode perkembangan bicara menjadi periode praverbal dan
periode verbal. Periode praverbal merupakan periode yang sangat penting, yang
dibagi menjadi:
Minggu ke 0-6: menangis
Menurut penuturan significant others, subjek dilahirkan
dengan normal. Setelah dilahirkan, subjek langsung menangis seperti anak normal
kebanyakan.
Minggu ke 6 hingga bulan ke 4:
vokalisasi seperti ah, uh
Menurut penuturan significant others, subjek sering
melakukan vokalisasi, seperti mengucapkan “ah”, dan “ma”.
Bulan ke 4-8: Babbling atau mengoceh (bunyian vokal
terus-menerus)
Pada tahap ini, subjek
menjalani tanpa ada masalah. Menurut penuturan significant others, subjek banyak menucapkan kata “aaaaaaaa”, dan
“tatatata”.
Bulan ke 8-12: social babbling, yaitu mengoceh dengan
cara di mana pola bunyian dari sekitarnya akan diambil alih, ia juga akan melakukan imitasi
pola bunyian kalimat.
Pada tahap ini, kami meyakini
bahwa subjek mulai mengalami permasalahan. Anak normal pada umumnya seharusnya
mampu mendengarkan, mengoceh dan mengikuti terus-menerus hingga terjadilah
pemahaman terhadap kata-kata dan penggunaan kata-kata. Subjek seharusnya mampu
melakukannya, namun karena terjadi gangguan pada aspek fonologis membuat subjek
mengucapkan kata yang berbeda dengan kata yang ditirunya.
Periode Verbal mempunyai beberapa fase, yaitu:
Bulan ke 12-15: fase kalimat
satu kata.
Pada fase ini subjek mampu
mengucapkan kalimat satu kata, seperti mimi (maksudnya saya mau minum). Subjek
juga belum menyangkal dengan kata, tetapi sudah membuat gerakan menggeleng.
Bulan ke 12-2 tahun: fase
kalimat dua kata.
Kami meyakini bahwa subjek
mengalami keterlambatan dalam fase ini. Subjek yang berusia 4 tahun masih
mengalami kata-kata yang terpotong misalnya “motor” menjadi “otor”. Padahal
normalnya hal tersebut terjadi pada anak yang berusia 2 tahun. Subjek juga hanya
memiliki sedikit kata-kata, padahal untuk anak 2 tahun saja setidaknya memiliki
270 kata. Hal tersebut bisa terjadi karena lingkungannya yang kurang memberikan
stimulus tentang kosa kata.
Tahun ke 2-3: fase kalimat
banyak kata.
Subjek sebenarnya mampu melakukannya.
Namun, gangguan fonologis membuat perkataannya sulit dimengerti oleh orang
lain. Hanya ibu yang paham maksud perkataan subjek.
Tahun ke 3-4: anak banyak
mengerti berbagai hal dan banyak bercerita.
Subjek banyak bercerita hanya
kepada ibunya. Pada fase ini seharusnya sudah mampu menggunakan kata sambung
dan imbuhan. Namun, subjek belum bisa menggunakan kata sambung dan imbuhan.
Bahkan pada usia ini subjek masih ada huruf yang terpotong saat berbicara.
Tahun ke 4-6: anak semakin baik
mengucapkan berbagai huruf.
Pada awal usia 4 tahun ini
subjek masih belum jelas mengucapkan huruf, bahkan masih ada beberapa huruf
yang sulit diucapkan yaitu R, N, L, P, Q. Huruf J dan D yang pengucapannya
hampir mirip dan kata “sa”.
Terapi yang bisa dilakukan untuk meringankan atau
menyembuhkan terlambat bicara, antara lain:
1.
Terapi Wicara Fase Verbal
Tujuannya adalah training keterampilan yang dalam
prakteknya digeneralisasi dan menjemukan. Xavier Tan berpendapat bahwa speech
patolog klasik pada umumnya lebih menekankan pada pelatihan berbicara dan
perbaikan pada gejala-gejala gangguan bicara, dan cognitive linguistic. Ada lima bentuk terapi wicara, yaitu:
a.
Penekanan pada faktor verbal
Sebelum
tahun 1970 dilakukan latihan prasyarat perkembangan bicara yaitu sensomotorik,
pecanderaan secara umum yang bisa secara cepat diikuti oleh anak, bila anak
sudah mempunyai adanya perkembangan pencanderaan auditif.
b.
Penekanan pada faktor syntaxis
Dalam hal ini lebih diarahkan pada
memberi pelajaran struktur syntax (gramatika) yang lebih spesifik
yang perkembangannya memang tidak mencukupi bila dibanding teman sebayanya.
Terapis memberikan layanan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak berdasarkan hasil dari analisa, yang
dibandingkan dengan kemampuan
rata-rata anak seusianya (penekanan pada produksi bahasa). Dari sini kemudian dilakukan
latihan (dengan model imitasi) tahap bertahap hingga ia berada di atas kemampuan yang
ada agar mencapai kemampuan rata-rata anak seusianya. Kekurangan dari
memberikan pelatihan dengan cara agar anak mengikuti program (imitasi) ini
menjadikan anak tidak melakukan pengembangan kemampuan secara spontan. Namun bukan berarti bahwa memberikan
pelatihan dengan cara imitasi tidak perlu, tetap diperlukan, hanya saja dalam metoda
Södenbergh-Tan penekanannya
pada spontanitas dan kemampuan diri anak. Sebab menurut Södenbergh-Tan
anak-anak pure dysphatic development ini mempunyai bahasa yang ia kembangkan dengan
caranya sendiri, yang hidup, spontan, dan penuh dengan perasaan, disebutnya
sebagai innerlijke spraaktaal atau inner speech language.
c. Penekanan
pada faktor semantik-kognitif.
Dalam hal ini anak
diarahkan agar mempunyai
kemampuan pengertian bahasa; dimana kemampuan ini
berkaitan langsung dengan pemrosesan bahasa. Dalam sesi terapi anak diajak
untuk memahami kata-kata, hubungan satu kata dengan kata yang lainnya, kaitannya
dengan tata ruang atau dimensi, kaitannya dengan waktu, dlsb.Pendek kata
ditekankan pada apa yang diucapkan dan pemahamannya. Pendekatan dialog antara terapis
dan anak merupakan hal yang paling penting. Terapis banyakbertanya, dan anak
menjawab, yang oleh Södenbergh-Tan justru dikritik sebagaipada akhirnya melahirkan situasi komando dimana anak harus menjawab pertanyaan, padahal hal
ini adalah kelemahan anak-anak pure dysphatic development.
d.
Penekanan pada faktor pragmatic
Dalam hal ini diarahkan agar anak
mempunyai kemampuan penguasaan
bahasa, danbagaimana penggunaan bahasa yang baik. Komunikasi timbal balik dan
interaksisosial merupakan pusat
perhatian dari pelatihan,
yang akan menghasilkan peningkatan
kemampuan bercakap-cakap.
e.
Penekanan pada faktor
komunikasi.
Dalam hal ini diarahkan bagaimana bentuk
komunikasi yang cocok untuk anak-anak dan dewasa bila kemampuan verbal tidak
dapat lagi dikasai. Tujuan
penanganan ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa dan bicara terutama produksi bahasa dengan
cara bagaimana anak dapat mengeluarkan berbagai ide
yang ada di
kepalanya dalam bentuk
kata-kata, serta perluasan penguasaan berbahasa.
Namun bentuk imitasi pun akan mendapatkan penghargaan secara positip.
Struktur gramatika juga akan senantiasa dilatih. Bentuk Tanya jawab akan juga difasilitasi.
Pada akhirnya diupayakan agar anak dapat berbahasa dan berbicara dengan
lancer. Anak dapat belajar mengatasi words
finding secara cepat, untuk
kemudian agar lebih mudah memformulasi dan bercerita. Innerlijke
spraak-taal (kemampuan berbahasa
inner) distimulasi agar
mampu ditunjukkan secara eksplisit.
2.
Ergotherapy
Ergotherapy adalah terapi gerak dan
sensoris dalam hal ini lebih ditujukan untuk melatih jika anak mempunyai masalah dalam pengucapan
(dyspraxia) yang disebabkan karena
gangguan pada motorik dasar, indera, terlalu sensitive, serta gangguan fisik lainnya.
Tujuannya untuk mengatasi aspek gangguan secara spesifik yang dibutuhkan dalam
mendukung perbaikan bahasa dan bicara.
3.
Terapi Naratif
Orang
tua perlu menceritakan cerita-cerita menarik kepada anak untuk menambah
perbendaharaan kata. Dengan bercerita mampu melatih anak untuk medengar
kata-kata yang baik dan benar. Anak bisa menirukan dan mengerti arti dari
setiap kata.
4.
Konsep Metamorphosis Xavier Tan
Tan mengembangkan fungsi kognitif dengan menggambar dan menulis. Kata-kata
penting yang dikenal anak dituliskan dalam sebuah kartu bersama gambar yang
telah dibuat yang sewaktu-waktu dapat dikembangkan lebih lanjut. Dengan begitu
setiap saat dengan sendirinya berlatih.
BAB IV
KESIMPULAN
Subjek mengalami
hambatan perkembangan Dysphatic
Development. Dysphatic Development adalah gangguan berbahasa dan bicara
akibat dari gangguan perkembangan neurologik. Ia bukan penyakit, tetapi sebuah
dimensi gangguan perkembangan.
Beberapa faktor yang membuat subjek mengalami Dysphatic Development antara lain:
a.
Faktor keterlambatan kematangan perkembangan.
b.
Faktor telinga.
c.
Faktor inteligensia yang kurang.
d.
Faktor pendukung pengucapan, seperti otot sekitar mulut, rongga mulut, dan
pernapasan.
e.
Faktor psikologis yang dapat menyebabkan anak menjadi gagap.
f.
Faktor pengasuhan.
g.
Faktor pemrosesan informasi, sementara itu faktor yang lain baik termasuk
mempunyai inteligensi normal hingga tinggi.
Terapi yang bisa dilakukan untuk meringankan hambatan
perkembangan terlambat bicara antara lain:
2.
Terapi Wicara Fase Verbal
Tujuannya adalah training keterampilan yang dalam
prakteknya digeneralisasi dan menjemukan. Xavier Tan berpendapat bahwa speech
patolog klasik pada umumnya lebih menekankan pada pelatihan berbicara dan
perbaikan pada gejala-gejala gangguan bicara, dan cognitive linguistic. Ada lima bentuk terapi wicara, yaitu:
a.
Penekanan pada faktor verbal
Sebelum
tahun 1970 dilakukan latihan prasyarat perkembangan bicara yaitu sensomotorik,
pecanderaan secara umum yang bisa secara cepat diikuti oleh anak, bila anak
sudah mempunyai adanya perkembangan pencanderaan auditif.
b.
Penekanan pada faktor syntaxis
Dalam hal ini lebih diarahkan pada
memberi pelajaran struktur syntax (gramatika) yang lebih spesifik
yang perkembangannya memang tidak mencukupi bila dibanding teman sebayanya.
Terapis memberikan layanan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak berdasarkan hasil dari analisa, yang
dibandingkan dengan kemampuan
rata-rata anak seusianya (penekanan pada produksi bahasa). Dari sini kemudian dilakukan
latihan (dengan model imitasi) tahap bertahap hingga ia berada di atas kemampuan yang
ada agar mencapai kemampuan rata-rata anak seusianya. Kekurangan dari
memberikan pelatihan dengan cara agar anak mengikuti program (imitasi) ini
menjadikan anak tidak melakukan pengembangan kemampuan secara spontan. Namun bukan berarti bahwa memberikan
pelatihan dengan cara imitasi tidak perlu, tetap diperlukan, hanya saja dalam metoda
Södenbergh-Tan penekanannya
pada spontanitas dan kemampuan diri anak. Sebab menurut Södenbergh-Tan
anak-anak pure dysphatic development ini mempunyai bahasa yang ia kembangkan dengan
caranya sendiri, yang hidup, spontan, dan penuh dengan perasaan, disebutnya
sebagai innerlijke spraaktaal atau inner speech language.
c. Penekanan
pada faktor semantik-kognitif.
Dalam hal ini anak
diarahkan agar mempunyai
kemampuan pengertian bahasa; dimana kemampuan ini
berkaitan langsung dengan pemrosesan bahasa. Dalam sesi terapi anak diajak
untuk memahami kata-kata, hubungan satu kata dengan kata yang lainnya, kaitannya
dengan tata ruang atau dimensi, kaitannya dengan waktu, dlsb.Pendek kata
ditekankan pada apa yang diucapkan dan pemahamannya. Pendekatan dialog antara terapis
dan anak merupakan hal yang paling penting. Terapis banyakbertanya, dan anak
menjawab, yang oleh Södenbergh-Tan justru dikritik sebagaipada akhirnya melahirkan situasi komando dimana anak harus menjawab pertanyaan, padahal hal
ini adalah kelemahan anak-anak pure dysphatic development.
d.
Penekanan pada faktor pragmatic
Dalam hal ini diarahkan agar anak
mempunyai kemampuan penguasaan
bahasa, danbagaimana penggunaan bahasa yang baik. Komunikasi timbal balik dan
interaksisosial merupakan pusat
perhatian dari pelatihan,
yang akan menghasilkan peningkatan
kemampuan bercakap-cakap.
e.
Penekanan pada faktor
komunikasi.
Dalam hal ini diarahkan bagaimana bentuk
komunikasi yang cocok untuk anak-anak dan dewasa bila kemampuan verbal tidak dapat
lagi dikasai. Tujuan
penanganan ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa dan bicara terutama produksi bahasa dengan
cara bagaimana anak dapat mengeluarkan berbagai ide
yang ada di
kepalanya dalam bentuk
kata-kata, serta perluasan penguasaan berbahasa.
Namun bentuk imitasi pun akan mendapatkan penghargaan secara positip.
Struktur gramatika juga akan senantiasa dilatih. Bentuk Tanya jawab akan juga difasilitasi.
Pada akhirnya diupayakan agar anak dapat berbahasa dan berbicara dengan
lancer. Anak dapat belajar mengatasi words
finding secara cepat, untuk
kemudian agar lebih mudah memformulasi dan bercerita. Innerlijke
spraak-taal (kemampuan berbahasa
inner) distimulasi agar
mampu ditunjukkan secara eksplisit.
3.
Ergotherapy
Ergotherapy adalah terapi gerak dan
sensoris dalam hal ini lebih ditujukan untuk melatih jika anak mempunyai masalah dalam pengucapan
(dyspraxia) yang disebabkan karena
gangguan pada motorik dasar, indera, terlalu sensitive, serta gangguan fisik lainnya.
Tujuannya untuk mengatasi aspek gangguan secara spesifik yang dibutuhkan dalam
mendukung perbaikan bahasa dan bicara.
5.
Terapi Naratif
Orang
tua perlu menceritakan cerita-cerita menarik kepada anak untuk menambah
perbendaharaan kata. Dengan bercerita mampu melatih anak untuk medengar
kata-kata yang baik dan benar. Anak bisa menirukan dan mengerti arti dari
setiap kata.
6.
Konsep Metamorphosis Xavier Tan
Tan mengembangkan fungsi kognitif dengan menggambar dan menulis. Kata-kata
penting yang dikenal anak dituliskan dalam sebuah kartu bersama gambar yang
telah dibuat yang sewaktu-waktu dapat dikembangkan lebih lanjut. Dengan begitu
setiap saat dengan sendirinya berlatih.
DAFTAR PUSTAKA
Van Tiel. 2008. Anakku Terlambat Bicara. Jakarta: Prenada.
Tsuraya, Inas. 2013. Kecemasan pada orangtua yang memiliki anak terlambat
bicara (speech delay) di RAUD M.
Ashari Pemalang. Journal Clinical and
Developmental Psychology. Universitas Negeri Semarang.
https://groups.yahoo.com/neo/groups/orangtua-shalih/conversations/messages/242 Diakses pada tanggal 18 Oktober 2015 mengenai terapi
untuk anak terlambat bicara.
0 comments:
Post a Comment